Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produk Tekstil Asing Masuk Lewat Jalur Tikus Perburuk Industri Lokal

Dalam temuan terbaru Ditjen Bea Cukai, aksi penyelundupan juga dilakukan dengan penimbunan sebelum didistribusi lebih lanjut.
Pedagang menata kain tekstil di pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (11/2/2020). Bisnis/Arief Hermawan
Pedagang menata kain tekstil di pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (11/2/2020). Bisnis/Arief Hermawan

Bisnis.com, JAKARTA — Masuknya produk tekstil dari luar negeri lewat pintu-pintu ilegal atau nonprosedural kian memperburuk tekanan pada industri dalam negeri.

Dalam data yang dihimpun oleh Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia (APSyFI) impor nonprosedural mengalami peningkatan dari 23.000 ton pada 2018 menjadi 331.000 ton pada 2019. Jumlah impor lewat jalur tak resmi pun sempat menyentuh 416.000 ton pada 2015.

Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengemukakan bahwa modus penyelundupan kini telah memanfaatkan high-speed craft maupun kapal-kapal berukuran kecil.

Dalam temuan terbaru pihaknya, aksi penyelundupan juga dilakukan dengan penimbunan sebelum didistribusi lebih lanjut.

“Ini adalah modus baru selain pemalsuan dokumen seperti sertifikat negara asal. Untuk itu, kami turut melibatkan surveyor untuk mengecek keaslian barang yang masuk sejak dari awal,” ujar Heru dalam sebuah webinar, Rabu (26/8/2020).

Dalam hal penguatan industri tekstil dalam negeri, Heru tak memungkiri bahwa diperlukan kebijakan ekstra dari sisi hulu sampai hilir. Dalam hal ini, dia mengibaratkan peran Ditjen Bea Cukai sebagai ‘keran’ di pelabuhan untuk impor barang tekstil.

“Dalam hal peran Ditjen Bea Cukai sebagai keran, perlu diperhatikan berapa sebenarnya yang [diizinkan] masuk dan apa saja yang bisa masuk serta apa saja yang boleh dan tidak boleh keluar,” lanjutnya.

Heru pun meyakini bahwa ekosistem logistik nasional kian membaik dan mendukung target penurunan biaya logistik dari yang mulanya 24 persen dari produk domestik bruto (PDB) menjadi di bawah 20 persen.

Dia menargetkan beban biaya logistik nasional setidaknya bisa menyamai Malaysia sehingga bisa mendorong daya saing produk tekstil dalam negeri.

Sementara itu, pengamat bidang kepelabuhan Irwandy M.A. Rajabasa mengemukakan importasi yang terjadi lewat pelabuhan di Sumatra seharusnya bisa diantisipasi karena konsumsi tekstil di kawasan tersebut tak sebesar di Pulau Jawa.

Pengawasan aktivitas di pusat logistik berikat pun disebutnya perlu diperketat karena rawan memicu kebocoran impor.

“Dalam hal ini, perlu ketegasan dari Kemenperin dan Kemendag dalam menetapkan kuota impor karena perdagangan di TPT sarat dengan permainan. Aturan sebenarnya bisa menghambat penyelewengan, tetapi perlu ketegasan dalam pengawasan,” kata Irwandy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Zufrizal
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper