Undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH) No. 33 sudah berlaku selama kurang lebih enam tahun tetapi berbagai persoalan halal dan sertifikasi halal tidak kunjung berakhir. Dari mulai hal teknis sampai kepada kebijakan yang tidak jelas dari pemerintah dan lembaga yang terlibat.
Peraturan pemerintahnya (PP) saja baru bisa lahir tahun lalu karena adanya tarik ulur berbagai kepentingan. Belum lagi aturan aturan teknis yang lain seperti prosedur sertifikasi, kewenangan lembaga sertifikasi dan siapa yang berhak memberi fatwa kembali menjadi permasalahan karena adanya draf RUU Cipta Kerja yang menyasar pula UU JPH.
Semangat UU JPH, khususnya permasalahan sertifikasi halal, yang seharusnya sederhana dibuat pelik dan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satunya karena terjadi perebutan kewenangan antara Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sehingga keduanya tidak mampu berjalan sesuai dengan Tupoksi masing masing.
Sebenarnya sudah jelas dalam UU JPH dan PP bagaimana menjadikan BPJPH sebagai pemilik kewenangan sertifikasi halal. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pemilik otoritas dalam hal fatwa halal dan LPPOM difungsikan sebagai lembaga pemeriksa halal (LPH), berikut pendirian LPH baru yang memenuhi syarat agar pekerjaan sertifikasi halal dapat berjalan dengan lancar dalam skala yang luas dan jumlah yang besar.
Persoalan kemudian melebar dan menjadi kabur karena konteks dan esensi dari UU tersebut tidak dapat dijalankan dengan ikhlas, penuh kesadaran dan tanggung jawab. Padahal solusi persoalan mendasarnya ada pada dataran teknis, bukan substansif.
Pertama, BPJPH harus membuka layanan secara masif di seluruh penjuru nusantara. Kedua, LPH dengan auditor halal harus tersedia. Ketiga, kejelasan biaya, baik untuk perusahaan menengah, besar dan UMKM. Keempat, kejelasan prosedur dan tata cara mengajukan dan memperoleh sertifikasi halal tidak boleh kabur dan seakan terjadi dualisme pintu.
Tahapan ini seharusnya bisa berjalan sebelum melakukan pengembangan dalam hal lainnya yang terkait kesempurnaan implementasi UU JPH seperti standar uji halal, sistem jaminan halal, hubungan dengan luar dan lain sebagainya. Dengan demikian mengembalikan substansi halal pada realita aturan sesuai dengan ruh UU JPH menjadi sangat mudah, sederhana dan sangat ditunggu oleh semua pelaku usaha.
Pertama, BPJPH harus membuka layanan pengajuan halal pada semua tingkatan sampai dengan Kantor Urusan Agama (KUA) tingkat kecamatan, dengan seperti itu layanan sertifikasi halal akan sangat mudah diakses oleh semua usaha termasuk industri kecil atau UMKM.
Tidak perlu membedakan usaha besar harus mengajukan pada level propinsi atau nasional, ajukan sesuai alamat kantor masing masing usaha dan buatlah prosedur yang sederhana, bahkan bisa dengan layanan, baik secara datang langsung atau online.
Kedua, perbanyak LPH, baik yang sudah ada yaitu LPPOM dan ditambah dengan LPH baru dari perguruan tinggi yang jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan. Bukanlah selama ini LPPOM itu juga kebanyakan diisi oleh tenaga dari perguruan tinggi dan instansi pemerintah. Artinya menambah jumlah LPH adalah perkara sederhana dan mudahkan legalitas mereka. Bila bertindak terlalu kaku maka kita akan terjebak kepada birokrasi dan pembodohan diri.
Syarat bagi auditor sudah jelas orang Islam yang paham dan mengikuti pelatihan auditor. Kita harus konsekuen bahwa dulu auditor halal LPPOM juga demikian. Harus mengikuti pelatihan sebelum bisa melakukan audit. Kemudian MUI juga mengakui.
Bahkan pada lembaga halal luar negeri, auditornya juga diakui karena masalah halal sederhana, tidak serumit yang lain. Misalnya keamanan pangan yang lebih ketat dan menyangkut detail mikrobiologi, kimia dan sebagainya. Halal adalah hal yang lebih sederhana.
Ketiga, kejelasan biaya harus segera ditetapkan. Bila perlu gratis, karena sertifikasi halal seperti pengajuan akta nikah adalah persoalan layanan ranah agama yang tujuannya memudahkan, bukan menyusahkan. Semua biaya terkait dengan sertifikasi halal ditanggung negara karena ini untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
Apabila tarif akan diberlakukan, berlakukan tarif semurah mungkin. Jangan membuat konsep sertifikasi ini menjadi semacam pendapatan negara bukan pajak. Ini sangat salah karena sertifikasi bukanlah pajak usaha tetapi legalisasi dari sebuah produksi barang. Sertifikasi halal filosofinya adalah layanan, bukan pendapatan negara.
Keempat, mekanisme atau prosedur. Bila menyesuaikan dengan UU JPH maka jelas bahwa pendaftaran ke BPJPH tidak perlu menggunakan istilah ‘audit’. Sebaliknya istilah cek lapangan lebih tepat, tidak menakutkan seperti audit yang terkesan menyusahkan. Pasalnya, pengecekan lapangan hanya konfirmasi dan meyakinkan bahwa prosedur dan pelaku usaha berkomitmen penuh dengan bahan, alat dan proses yang halal.
Hasil pengecekan lapangan kemudian dilaporkan ke MUI oleh BPJPH. Untuk MUI bisa mencapai semua level sampai kecamatan atau kabupaten/kota. Kita berkeyakinan meski MUI level kecamatan tetapi memiliki pemahaman dan komitmen dengan halal.
Intinya aturan dan prosedur tidak perlu dibuat menyulitkan dan menyusahkan, karena masyarakat sekarang butuh motivasi dalam usaha, bukan ketakutan pada birokrasi dan pelayanan yang sering tidak nyaman. Permudahlah. Jangan kau persulit.