Bisnis.com, JAKARTA — Ketua The International Council on Large Electric Systems (CIGRE) Indonesia Herman Darnel Ibrahim menilai pengembangan pembangkit listrik tenaga nulkir (PLTN) di Indonesia belum diperlukan.
Herman menilai pembangunan PLTN belum kompetitif karena biaya investasinya masih sangat mahal. Hal ini membuat harga listrik dari PLTN masih di atas harga listrik dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan energi terbarukan (EBT) lainnya.
"Kalau bangun PLTN 5.000 megawatt dengan standar teknologi Eropa, biayanya kira-kira US$35 miliar atau hampir Rp600 triliun," ujarnya dalam webinar 'Menimbang Risiko PLTN di Indonesia – Tinjauan Sosial, Geologi, Ekonomi dan Ketahanan Energi', Selasa (21/7/2020).
Di sisi lain, meski PLTN menghasilkan energi yang bersih, pengembangannya masih sulit diterima oleh publik karena dinilai masih berisiko bila terjadi kecelakaan selama beroperasi. Dia mengatakan bahwa negara-negara Eropa saat ini justru mengurangi penggunaan PLTN dan menggantinya dengan pembangkit EBT.
Menurutnya, daripada mengembangkan PLTN, Indonesia sebaiknya menggenjot pengembangan pembangkit EBT, terutama pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Hal ini mengingat potensi pengembangan PLTS di Indonesia begitu besar.
Selain itu, menurutnya pengembangan PLTS skala besar juga mampu menghasilkan listrik lebih banyak, bersih, dan lebih murah dibandingkan PLTN.
"Kalau bangun PLTN 5.000 MW itu bisa dibuat untuk bangun 60.000-80.000 MW PLTS. Bisa dipatahkan kebutuhan PLTN dengan ketersediaan energi dan bangun PLTS atap. Saya kira gerakan dulu PLTS atap sebelum nulkir. Kebijakan KEN nuklir pilihan terakhir, saya kira sudah tepat," kata Herman.