Bisnis.com, JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memastikan tidak akan memberikan relaksasi take or pay gas.
Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief S. Handoko mengatakan bahwa pihaknya belum berencana untuk menghapus aturan take or pay dalam kontrak perjanjian jual beli gas.
Menurut dia, dengan adanya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang harga gas khusus industri tertentu mampu mendongkrak penyerapan gas yang sebelumnya melemah.
“Penerapan kebijakan relaksasi TOP, jadi kami pastikan TOP belum kita applied relaksasi kita ada Permen 8, Permen 10,” katanya baru-baru ini.
Arief mengatakan bahwa setelah Permen ESDM Nomor 8/2020 dan Permen ESDM 10/2020 diimplementasikan, penyerapan gas dari sektor industri dan kelistrik menjadi meningkat.
Pihaknya mengklaim, penyerapan gas yang pada periode Mei 2020 sempat terperosok telah membaik pada periode Juni 2020 setelah beleid tersebut diimplementasikan.
“Jadi ini berupa insentif yang mungkin bisa menggantikan kebijakan penerapan relaksasi TOP,” ungkapnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PGN Hartono mengatakan, untuk menghidari penurunan volume, pihaknya mengusulkan kepada pemerintah untuk pemberian relaksasi take or pay (TOP) dari produsen gas.
Pasalnya, pada kondisi saat ini PGN mencatat penurunan volume niaga sebesar 17 persen dari awal tahun hingga Mei 2020 dengan volume 822 Bbtud dibandingkan dengan tahun lalu 898 Bbtud.
"Jadi take or pay yang hari ini kemungkinan terkena kepada kami bisa kami carry over di tahun 2021 di mana saat itu kami berharap pertumbuhan ekonomi telah tumbuh kembali," jelasnya.
Mengacu data SKK Migas, serapan gas pada Mei kemarin tercatat hanya 5.253 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMscfd) atau 10,45 persen dari realisasi triwulan pertama 5.866 MMscfd. Sementara itu, serapan gas naik menjadi 5.484 miliar british thermal unit per hari (billion british thermal unit per day/BBTUD).
Dengan realisasi serapan gas per Juni tersebut, terlihat masih lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan, pada Juni 2019 lalu, serapan gas domestik mencapai 6.138 BBTUD dibanding Juni 2020 yang sebesar 5.484 BBTUD.
SKK Migas menyebut, penurunan serapan terjadi untuk hampir seluruh sektor. “Paling besar turun [serapan gasnya] sektor kelistrikan, diikuti industri, LNG domestik, pupuk. LNG domestik juga mostly untuk kelistrikan,” katanya.
Per Juni lalu, serapan gas sektor kelistrikan hanya 711 BBTUD atau turun 15,26 persen dari periode yang sama tahun lalu 839 BBTUD. Serapan LNG dalam negeri tercatat hanya 441 BBTUD atau anjlok 13,02 persen dibandingkan dengan 507 BBTUD.
Berikutnya serapan gas oleh industri sebesar 1.533 BBTUD atau turun tipis 4,07 persen dari 1.598 di Juni 2019. Serapan gas oleh pabrik pupuk juga turun tipis 4,71 persen menjadi 708 BBTUD dari tahun lalu 743 BBTUD.