Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Fithra Faisal Hastiadi

Direktur Eksekutif Next Policy

Fithra Faisal Hastiadi adalah Direktur Eksekutif Next Policy. Ekonom, peneliti, dan pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini meraih PhD dari Waseda University, Jepang dan pernah menjadi associate researcher pada Asian Development Bank Institute, Tokyo.

Lihat artikel saya lainnya

Furbizia, Mencari Celah di Tengah Kepanikan Ekonomi

Furbizia sahih jika para pembuat kebijakan dibekali oleh semangat ingin lolos dari lubang jarum. Kebijakan-kebijakan at all cost difokuskan kepada upaya penanganan krisis dan pendongkrakan ekonomi.
Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional Membengkak
Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional Membengkak

Dalam dunia sepak bola, tim nasional Italia hampir selalu menjadi unggulan di tiap turnamen. Empat trofi piala dunia mereka dekap erat penuh bangga. Hanya kalah dari Brasil yang merebut lima. Namun, dari jajaran piala tersebut, raihan pada 1982 dan 2006 yang dinilai paling memasyhurkan nama Italia.

Dengan skuad yang seadanya, Italia justru berhasil mengangkangi tim-tim lain yang lebih superior pada dua edisi piala dunia tersebut. Berpikir cerdik dalam mengubah keterbatasan menjadi sebuah keberhasilan adalah prinsip yang dikenal sebagai Furbizia.

Seni melihat peluang di tengah posisi terimpit tersebut awalnya dikaitkan dengan taktik sepak bola tetapi tampak layak menjadi pegangan bagi perekonomian Indonesia yang tengah terjepit. Pak Jokowi sudah marah-marah. Artinya memang harus ada yang dilakukan segera.

Pandemi Covid-19 memang telah membawa pukulan telak bagi perekonomian Indonesia. Ketakutan pasar terlihat nyata, sehingga menimbulkan tekanan yang berarti bagi beberapa indikator makroekonomi. Berdasarkan simulasi yang kami lakukan, sepanjang 2020 perekonomian bisa saja masuk skenario berat jika kurva pandemi baru melandai pada September.

Pada skenario ini, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai minus 0,8% dengan jumlah pengangguran hingga dua puluh juta jiwa. Dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 18 Juni, Presiden Jokowi mewanti-wanti dengan tegas agar kebijakan yang dilakukan harus mencerminkan sense of crisis. Ini adalah waktunya Furbizia!

Furbizia sahih jika para pembuat kebijakan dibekali oleh semangat ingin lolos dari lubang jarum. Kebijakan-kebijakan at all cost difokuskan kepada upaya penanganan krisis dan pendongkrakan ekonomi. Ide besarnya adalah kebijakan 3S, yaitu spend, spend dan spend meskipun menimbulkan konsekuensi berupa melebarnya defisit APBN dan meningkatnya rasio utang pemerintah.

Tambahan stimulus ini saya kira merupakan kemestian, karena jika dibandingkan dengan negara lain yang telah menggelontorkan dana dengan rata-rata di atas 5% produk domestik bruto (PDB) maka stimulus yang diberikan pemerintah masih jauh dari mewah. Namun, semua ini harus dieksekusi dengan cepat jika ingin berbuah hasil.

Ironisnya, implementasi pemberian stimulus sektor kesehatan baru terealisasi 1,54% atau setara Rp1,34 triliun dari anggaran kesehatan yang mencapai Rp87,55 triliun. Padahal, skenario proyeksi ekonomi Next Policy menunjukkan, variabel kesehatan menjadi penentu lentingan ekonomi pada jangka menengah dan panjang.

Ada empat faktor ketakutan yang akan menentukan pola pemulihan ekonomi di jangka menengah dan panjang. Pertama, ketakutan akibat kehilangan penghasilan. Pandemi berdampak pada besarnya angka pengangguran baru.

Mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mengalami penurunan produktivitas, bahkan tak jarang keahliannya akan terdepresiasi. Walaupun langkah pemerintah mengupayakan re-skilling dan up-skilling patut diapresiasi, angkatan kerja tidak produktif ini akan menjadi beban besar bagi perekonomian jika tak segera ada lapangan pekerjaan baru di jangka menengah.

Pemerintah dapat mengupayakan program padat karya sementara, misalnya menjadi operator layanan bantuan pemerintah, sehingga mereka tetap dapat memperoleh penghasilan.

Kedua, ketakutan untuk membelanjakan uang. Kita paham selama ini konsumsi rumah tangga menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan pandemi sukses meruntuhkan konsumsi tersebut.

Namun, pemerintah harus sadar bahwa rendahnya konsumsi bukan serta merta karena daya beli kelompok menengah ke bawah yang melemah, melainkan juga penurunan keinginan berbelanja kelompok menengah ke atas, karena ingin menghindari risiko (risk averse) penularan virus. Ide pungutan-pungutan baru yang berpotensi mengurangi minat belanja masyarakat sebaiknya ditunda.

Ketiga, ketakutan terhadap keterbatasan modal, yang salah satunya terjadi karena minimnya realisasi penyaluran stimulus dan insentif kepada dunia usaha. Hingga saat ini, berdasarkan data Kementerian Keuangan, serapan anggaran stimulus UMKM baru 0,06% dari total Rp123,4 triliun.

Lebih mengenaskan lagi, penyaluran kredit sektor korporasi malah belum ada yang tersalurkan alias 0%. Ini jelas akan semakin menekan beban neraca industri yang sudah lama turun pangkat.

Padahal, kinerja sektor industri, apalagi yang padat karya dan berbasis ekspor, menjadi penting mengingat peranannya sebagai penghela nafas perekonomian.

Kita bisa belajar dari negara lain di mana pemerintah memberikan subsidi bagi industri untuk tetap menggaji pekerjanya dan membayar pemakaian listrik. Hal ini menjadi penting agar ketika memasuki periode pemulihan, sektor ini bisa langsung di-jump start dan membawa efek ikutan ke sektor lain.

Keempat, suara bising (noise) wacana regulasi game-changing. Pembahasan atau pengesahan regulasi seperti UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Minerba terkesan lanjut terus tanpa memikirkan kondisi ekonomi yang tidak stabil.

Situasi tersebut memunculkan rasa cemas di kalangan industri, terutama yang padat karya dan berbasis ekspor, terhadap masa depan. Padahal, mereka tengah berjibaku bagaimana memastikan operasional dapat berjalan sembari tetap mempertahankan karyawan.

Bukan tidak mungkin kebijakan di tengah masa panik ini berpotensi menggerus sisa-sisa kekuatan terakhir para pelaku industri.

Memenangi permainan ala Furbizia jelas tidak mudah. Butuh kejelian dan fokus alias konsentrasi penuh. Pelbagai kebijakan yang dibuat selama pandemi harus berkiblat pada upaya penyelesaian krisis, bukan yang lain. Kebijakan-kebijakan yang berpotensi membuat riuh ada baiknya ditunda, sehingga fokus tidak terbelah.

Peluit tanda akhir permainan hampir berbunyi. Peluang-peluang yang ada kiranya segera dimaksimalkan. Jika terlambat, momentum perbaikan ekonomi akan lewat dengan beban yang semakin membengkak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper