Cari berita
Bisnis.com

Konten Premium

Bisnis Plus bisnismuda Koran Bisnis Indonesia tokotbisnis Epaper Bisnis Indonesia Konten Interaktif Bisnis Indonesia Group Bisnis Grafik bisnis tv

Biaya Operasional Pelayaran Sulit Dipenuhi, Ini Penyebabnya

Pengusaha pelayaran merasa kesulitan usai adanya pembatasan kapasitas penumpang sebesar 50 persen dan larangan untuk menaikan harga tiket.
Rinaldi Mohammad Azka
Rinaldi Mohammad Azka - Bisnis.com 08 Juli 2020  |  21:01 WIB
Biaya Operasional Pelayaran Sulit Dipenuhi, Ini Penyebabnya
Penumpang turun dari kapal Pelni Labobar asal Balikpapan, Kalimantan Timur, di Terminal Gapura Surya Nusantara, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (8/6/2018). - ANTARA/Zabur Karuru

Bisnis.com, JAKARTA - Pengusaha pelayaran mengeluhkan pembatasan kapasitas penumpang sebesar 50 persen dan tidak diperbolehkan untuk menaikan harga tiket oleh pemerintah. Pasalnya, dengan kapasitas hanya 50 persen, harga tiket saat ini tidak dapat menutup biaya operasional.

Ketua Bidang Angkutan Penumpang dan RoRo DPP Indonesia National Shipowners Association (INSA) Asep Suparman mengatakan hal ini menyulitkan para operator kapal penumpang, baik pembatasan kapasitas maupun larangan menaikan harga tiket.

"Dengan [penumpang] dibatasi 50 persen dari sisi komersial sangat sulit hitung-hitungannya, sementara biaya kapal tetap, itu fixed cost tetap, biaya variabel cost juga seperti BBM bawa penumpang 100 orang sama 1 orang deviasinya beda tipis," terangnya dalam diskusi Myshipgo, Rabu (8/7/2020).

Menurutnya, kalau pemerintah membatasi jumlah kapasitas penumpang hanya 50 persen, artinya harga pokok produksi (HPP) akan meningkat. Ketika sudah begitu, tiket angkutan pun semestinya naik.

Hal ini tegasnya, yang harus dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan termasuk pemerintah dan calon penumpang kapal, sehingga larangan menaikan tarif tiket penumpang menurutnya sangat tidak masuk akal.

"Jelas 50 persen pembatasan, HPP akan naik, justru minimal dengan HPP yang baru, tarif akan naik 100 persen ini sangat memungkinkan," katanya.

Dengan demikian, terangnya, ketika pemerintah bicara konektivitas laut harus tetap berjalan dengan kondisi begini, negara harus hadir memberikan kompensasi. Pasalnya, operasi kapal dengan kapasitas maksimal 50 persen tidak mungkin untung.

"Kapasitas 80 persen juga belum tentu break even point [BEP/balik modal], padahal pelayaran dari zaman dahulu punya fungsi geopolitik, karena Indonesia negara kepulauan 70 persen, yang menyatukan bangsa, perekat bangsa, itu Pelni jadi perekat bangsa," imbuhnya.

Di sisi lain, terangnya, fungi geoekonomis juga menjadi peran dari pelayaran dan hal ini yang belum dimaksimalkan oleh pemerintah. Asep menilai pemerintah mesti melakukan integerasi wilayah yang potensial di daerah timur untuk meningkatkan muatan balik baik penumpang maupun logistik.

"Harus terintegrasi, wilayah mana potensial, di Bitung ada produk air kelapa dan muatan balik dari dulu ada ketidakseimbangan dari Timur ke kapal, sehingga uang freight tambang kapal jadi mahal baik penumpang maupun logistik," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :

kapal insa pelayaran
Editor : Rio Sandy Pradana

Artikel Terkait



Berita Lainnya

    Berita Terkini

    back to top To top