Bisnis.com, JAKARTA - Genap empat bulan Indonesia dihantui Covid-19. Selama empat bulan tersebut, Indonesia mencatat 57.770 kasus dengan jumlah pasien sembuh 25.595 orang dana 2.934 korban jiwa.
Tidak hanya menjangkiti manusia, virus Corona baru yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China, berhasil mengoyang ekonomi Indonesia.
Menyadari risiko Covid-19 yang tidak hanya akan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat, tetapi juga kondisi sosial dan ekonomi, pemerintah mulai bergerak.
Gerak pemerintah Indonesia sebenarnya tergolong cepat dalam merespons wabah Covid-19. Pemerintah telah mengelontorkan stimulus sebelum kasus pertama Covid-19 ditemukan di Indonesia.
Pada 25 Februari 2020, pemerintah mengeluarkan stimulus tahap satu sebesar Rp 10,3 triliun.
Paket tersebut diperuntukkan bagi penguatan ekonomi domestik dengan mengakselerasi belanja pemerintah penyaluran bantuan sosial (bansos), transfer dana desa, dan ekspansi jumlah penerima manfaat kartu sembako.
Pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan secara resmi kasus Covid-19 pertama di Indonesia. Dua warga negara Indonesia, pasien 1 dan pasien 2 dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan kontak dengan warga asing.
Selang beberapa hari, pada 13 Maret 2020, pemerintah merilis paket stimulus kedua yang isinya memuat delapan poin kebijakan, dengan rincian empat kebijakan fiskal perpajakan dan empat kebijakan terkait dengan lalu lintas ekspor dan impor.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan stimulus ini untuk menjaga sektor riil dan daya beli masyarakat.
"Dampak terhadap sektor ekonomi tidak terelakkan. Pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan terkontraksi semakin dalam. Untuk itu pemerintah memerhatikan isu yang memerlukan kebijakan khusus," ujarnya.
Namun, Covid-19 tidak cukup dibendung hanya dengan dua paket stimulus tersebut karena pemerintah melihat risikonya kian dalam. Pemerintah dihadapkan dengan pilihan lockdown. Pilihan yang sebenarnya sudah banyak diambil oleh negara-negara yang dilanda Covid-19, termasuk tetangga Indonesia, seperti Singapura, Filipina dan Malaysia.
Langkah lockdown diambil dengan memberikan wewenang penetapan kepada pemerintah daerah dengan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Seiring dengan penetapan PSBB di berbagai wilayah di Tanah Air, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020.
Dalam Perppu ini, pemerintah menetapkan tambahan belanja dan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun.
Dari total tersebut, Rp75 triliun disalurkan untuk kesehatan, termasuk insentif tenaga dokter dan perawat yang menangani Covid-19. Untuk bantuan sosial, pemerintah menganggarkan Rp110 Triliun.
Sebanyak Rp70,1 triliun dianggarkan untuk mendukung kegiatan usaha, termasuk relaksasi pajak dan bea masuk serta Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sisanya Rp150 triliun diposkan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.
Besaran jumlah tersebut masih tidak cukup melihat dampak pandemi Covid-19. Pada Mei 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa pemerintah akan meningkatkan total anggaran untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menjadi Rp641,17 triliun.
PEN sendiri adalah nama bantuan stimulus yang mencakup aspek-aspek sesuai Perppu No. 1/2020. Bantuan sosial, kesehatan, dunia usaha dan pemulihan ekonomi.
Ketidakpastian semakin memberatkan pemerintah, mengingat PSBB yang telah berjalan di sejumlah daerah menimbulkan dampak negatif yang besar, mulai dari kemiskinan, PHK hingga produksi industri baik besar dan kecil harus gulung tikar.
Terlebih lagi, pada awal Mei 2020, Badan Pusat Statistik mengumumkan bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal I/2020 hanya tumbuh sebesar 2,97 persen (yoy/year-on-year), melambat dibanding capaian kuartal/2019 yang sebesar 5,07 persen.
Perlambatan ekonomi dan efek PSBB semakin memicu kekhawatiran akan nasib perekonomian Tanah Air.
Bahkan, pemerintah mengeluarkan skenario terburuk bahwa angka PDB Indonesia pada 2020 minus 0,4 persen.
"Outlook pertumbuhan ekonomi menurun di 2,3 persen bahkan jika semakin berat bisa negatif 0,4 persen," ungkap Sri Mulyani.
Menteri Keuangan Sri Mulyani/ Bloomberg.
Dibayangi ketidakpastian tersebut, 3 Juni 2020, pemerintah kembali menaikkan anggaran PEN menjadi Rp677,2 triliun hingga akhir 2020.
Naiknya anggaran ini memicu pelebaran defisit dari 4,17 persen menjadi 6,34 persen. Alhasil, Perpres No. 54 Tahun 2020 harus direvisi.
Lagi-lagi, hanya dalam hitungan hari, pemerintah menambah anggaran dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp18 triliun menjadi Rp695,2 triliun dari sebelumnya Rp677,2 triliun. Kebijakan tersebut diputuskan pada 18 Juni 2020.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menegaskan bahwa tambahan tersebut disalurkan untuk pembiayaan korporasi dan BUMN terkait dengan kredit modal kerja kepada perusahaan padat karya.
Sayangnya, anggaran jumbo PEN tersebut tidak dibarengi dengan penyerapan yang lancar. Dari Rp75 triliun dana kesehatan di dalam PEN, pencairannya baru mencapai 1,53 persen per Juni.
Melihat kenyataan tersebut, Presiden Jokowi naik pitam. "Bidang kesehatan, itu dianggarkan Rp75 triliun. Rp75 triliun itu baru keluar 1,53 persen coba, uang beredar di masyarakat ke-rem ke situ semua," kata Jokowi dalam video Rapat Paripurna Kabinet.
Tidak main-main, Jokowi akan mempertaruhkan reputasi politiknya untuk rakyat dan negara dalam menghadapi Covid-19. Bahkan, dia mengancam akan melakukan reshuffle jika diperlukan.
Merespons hal tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 untuk mengakselerasi belanja negara terkait penanganan pandemi Covid-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada 25 Juni 2020.
Ketentuan khusus yang diatur terkait Program PEN adalah pemberian kewenangan pada Menteri Keuangan untuk melakukan pergeseran rincian belanja negara dan pembiayaan anggaran.