Bisnis.com, JAKARTA – Regulasi impor limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) masih menyisakan polemik.
Perubahan terbaru pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 84/2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebagai Bahan Baku Industri melalui penerbitan Permendag 58/2020 dinilai kian memperumit proses importasi dan berpotensi menghambat kegiatan industri dalam negeri.
Dalam perubahan terbaru ketentuan impor ini, pemerintah mempertegas dimulainya pemberlakuan ketentuan impor yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (1) huruf d Permendag No. 84/2019 sebagaimana telah diubah dalam Permendag No. 92/2019.
Mulai 1 Oktober 2020, impor limbah non B3 harus berasal dari eksportir yang terdaftar di negara asalnya. Selain itu, untuk mendapatkan persetujuan impor (PI), perusahaan harus menyertakan bukti bahwa pemasok atau eksportir telah terdaftar oleh otoritas yang berwenang di negara asal dan ditandasahkan oleh perwakilan RI di negara tersebut.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA) Ismail Mandry mengemukakan, kehadiran aturan ini sejatinya bisa menjadi landasan untuk pengiriman kembali ke negara asal ketika terdapat temuan kontaminasi limbah B3.
Kendati demikian syarat dalam beleid ini disebutnya bisa memperpanjang proses pengadaan dan berpotensi mengganggu kegiatan produksi.
"Ini menyulitkan kami juga. Di negara lain tidak seperti ini. Di satu sisi mereka bisa 'terancam' karena di sana mereka bisa dikenai sanksi jika ekspor ke Indonesia dinyatakan mengandung limbah B3," ujar Ismail kepada Bisnis, Rabu (24/6/2020).
Alih-alih menghadirkan regulasi yang mempersulit pengiriman, Ismail menyatakan seharusnya pemerintah dan negara pemasok dapat lebih fokus menyamakan standar.
Menurutnya, pemerintah bisa berkaca pada kasus gagalnya pengiriman kembali impor limbah beberapa tahun silam akibat perbedaan persepsi antara Indonesia dan negara pemasok.
"Ada impor dari Inggris yang tertahan karena kita menilai ada kandungan limbah berbahaya di dalamnya. Namun tidak bisa dikirim kembali karena di negara asal kontaminan tersebut tidak dianggap limbah berbahaya," jelasnya.
Jika ingin menghindari potensi kerusakan lingkungan akibat importasi limbah yang tak dikehendaki, Ismail pun mengemukakan hal tersebut bisa dicapai dengan memperkuat peran surveyor sebagai pengawas.
Pengawasan yang tak optimal namun diiringi dengan regulasi yang rumit, menurut Ismail, justru akan menghambat kinerja industri di dalam negeri.
"Utilitas kami sudah turun hanya 20 sampai 30 persen karena perekonomian yang lesu karena pandemi, ditambah dengan regulasi seperti ini," tuturnya.
Senada, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi menyatakan proses importasi yang kian panjang bakal membuat pasokan bahan baku menjadi lebih sulit.
Kondisi ini disebutnya bisa memengaruhi pergerakan industri dalam negeri yang tengah berusaha bangkit di tengah pandemi Covid-19.
"Seharusnya yang dibenahi dan diperkuat adalah surveinya. Lalu dengan syarat eksportir terdaftar di perwakilan RI ini apakah bisa menjamin negara asal akan menerima jika kita ekspor kembali?" ucapnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiyono menyatakan, pelaku industri sejatinya berharap pemerintah dapat menerbitkan aturan yang mengakomodasi investigasi sebelum pengapalan. Jika tidak, aturan agar impor limbah non B3 haruslah homogen berpotensi akan dilanggar di kemudian hari.
"Rata-rata barang yang dikirim bukan dari negara tersebut, biasanya dari negara lain. Jadi sudah direekspor beberapa kali. Ini dalam kasus limbah plastik," tutur Fajar.
Menurut Fajar, investigasi sebelum pengapalan menjadi penting demi memastikan bahwa barang yang dikirim benar-benar homogen dan berasal dari negara lokasi pengiriman.
Dia menjelaskan permasalahan pada importasi acap kali ditemui lantaran limbah ikutan plastik memiliki kontaminan plastik konsumsi yang tinggi.
"Kalau plastik produksi biasanya homogen. Tapi yang jadi masalah adalah siapa yang bisa memastikan bahwa itu sampah industri atau bukan saat dikirim," jelasnya.