Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Beleid Gas 6 Dolar AS Sudah Berlaku 2 Bulan, Pabrik Kaca Tagih Realisasi

Industri kaca lembaran mengharapkan para distributor gas segera melakukan revisi kontrak sesuai dengan keputusan Menteri ESDM.
Pompa angguk di ladang minyak dan gas/Bloomberg-Andrey Rudakov
Pompa angguk di ladang minyak dan gas/Bloomberg-Andrey Rudakov

Bisnis.com, JAKARTA – Dua bulan berlalu semenjak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 89 K/LO/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri diberlakukan, pelaku usaha masih harus membayar gas dengan harga tinggi.

Belied ini bertanggal 13 April 2020 itu pemerintah menetapkan 197 perusahaan mengacu pada harga US$6 per million metric british thermal unit (MMBTu). Para penerima insentif gas murah itu terdiri dari pabrik pupuk lima perusahaan, industri Petrokimia 46 perusahaan, Baja (56), Keramik (59), Kaca (16), Sarung Tangan (6) dan Olekimia (9).

Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) menyatakan revisi perjanjian jual beli gas (PJBG) belum kunjung dilakukan antara distributor dan pabrikan kaca lembaran.

Ketua Umum AKLP Yustinus Gunawan menyatakan masih mahalnya harga gas, membuat kondisi bisnis berada pada tingkat yang sulit.

“Arus kas saat ini masih berdarah-darah,” kata Yustinus, Minggu (14//6/2020).

Menurutnya, kas internal pabrik kaca hanya bertahan sampai Mei 2020 lalu. Saat ini industri terpaksa mengandalkan pinjaman bank untuk menjaga bisnis tetap berjalan.

Yustinus berharap para distributor gas segera mewujudkan keputusan pemerintah menjual harga gas US$6 MMBTu agar industri memiliki ruang untuk menjaga bisnis dari bangkrut.

Di tengah pandemi corona ini, katanya, pabrik kaca masih membayarkan biaya gas April 2020 hingga saat ini dengan tarif sebelum revisi yakni sekitar US7,97-US$9,16 per mmBTU.

"Ini [realisasi gas US$6] sangat penting dan bisa menjadi tonggak kebijakan yang mendukung industri manufaktur ke depan," ucapnya.

Selama pandemi Covid-19, Yustinus menyatakan pabrikan kaca lembaran menurunkan kapasitas produksi sekitar 20-30 persen akibat merosotnya permintaan di dalam dan luar negeri. Menurutnya, pabrikan menjalankan strategi pull down untuk mengantisipasi pasar.

Strategi pull down akan menurunkan volume produksi lebih rendah lagi ke level 40 persen atau bahkan ke 50 persen.

Selain mengantisipasi pasar, Yustinus menilai strategi tersebut dijalankan guna meringankan beban pada arus kas pabrikan. Pasalnya, pengurangan kapasitas produksi akan berbanding lurus dengan biaya penggunaan gas parikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Andi M. Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper