Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Strategi Mendag Pertahankan Pasar AS

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengaku bakal berupaya mempertahankan kontrak-kontrak perdagangan yang telah terjalin dengan AS, untuk menjaga agar tidak ikut tertekan oleh kondisi ekonomi Paman Sam.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto memberikan keterangan pers tentang stabilisasi harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok terkait wabah virus corona atau Covid-19 di Jakarta, Selasa (3/3/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto memberikan keterangan pers tentang stabilisasi harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok terkait wabah virus corona atau Covid-19 di Jakarta, Selasa (3/3/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Bisnis.com, JAKARTA – Kendati perekonomian AS diperkirakan bakal mengalami tekanan dalam jangka waktu yang panjang oleh The Fed, Kementerian Perdagangan optimistis, kinerja ekspor RI ke negara tersebut tetap terjaga.  

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengemukakan bahwa ekspor ke Amerika Serikat bakal tetap dijaga dengan mempertahankan kontrak-kontrak yang telah terjalin. Sejauh ini, dia menargetkan ekspor ke Amerika Serikat tetap surplus.

"Kita akan tetap jaga ke depannya agar ekspor tetap melebihi impor ke Amerika Serikat. Saya juga sudah komunikasi dengan industri manufaktur untuk menjaga ekspor ke sana. Komunikasi dengan pihak Amerika Serikat pun terus kami jalin," kata Agus, Kamis (11/6/2020).

Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengemukakan, sebagai salah satu raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat juga merupakan salah satu pasar utama produk-produk dari berbagai negara.

Adanya potensi terganggunya permintaan dari Negeri Paman Sam, Faisal menyebutkan kebutuhan bahan baku industri yang dipasok Indonesia ke negara eksportir lainnya otomatis akan berkurang.

"Secara tidak langsung perekonomian Amerika Serikat juga akan berimplikasi ke negara lain karena Amerika Serikat mengimpor dari berbagai negara. Jika impor dari negara lain turun, maka keuntungan juga akan terkoreksi dan kegiatan produksi berkurang," jelasnya..

Hal ini pulalah yang membuat Faisal memperkirakan komoditas ekspor utama ke Amerika Serikat yang bakal terimbas akan mencakup produk-produk manufaktur seperti garmen dan alas kaki. Di sisi lain, akses pasar Indonesia bakal dihadang oleh berbagai hambatan nontarif karena negara tersebut bakal lebih mengedepankan produksi lokal.

"Sebelum wabah terjadi, ekspor ke Amerika Serikat sendiri telah terganggu dengan kebijakan proteksi mereka. Jika ditambah dengan proyeksi produk domestik bruto yang turun, maka permintaan akan terkoreksi, otomatis Amerika Serikat akan mengurangi impornya," lanjut Faisal.

Kekhawatiran serupa pun dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Asprisindo) Firman Bakrie.

Pemulihan ekonomi Amerika Serikat yang lamban dinilainya bakal diiringi dengan daya beli. Terlebih, ekspor sepatu Indonesia ke Amerika Serikat didominasi oleh jenis sepatu bermerk.

"Masalahnya ekspor sepatu ke Amerika Serikat didominasi branded shoes. Sepatu second tier ada, tapi kecil sekali kontribusinya. Mungkin tahun ini akan jadi periode yang berat," ujar Firman kepada Bisnis.

Namun secercah harapan bisa dimanfaatkan. Menurut Firman, penjualan sepatu ke Amerika Serikat dapat tetap dipertahankan selama Indonesia menawarkan produk yang murah.

Di sisi lain, dia menilai sepatu masih menjadi kebutuhan utama masyarakat Amerika Serikat yang harus menjalani empat musim berbeda.

"Alas kaki sudah menjadi kebutuhan, apalagi perekonomian sudah mulai kembali aktivitasnya. Namun tidak bisa dipungkiri tahun ini masih dipenuhi ketidakpastian," lanjutnya.

Firman mengemukakan ekspor alas kaki sendiri masih mencatatkan pertumbuhan tahunan selama periode Januari–April 2020.

Pertumbuhan ini disebutnya dipicu oleh kesepakatan pembelian dari importir yang masih berlanjut meski di tengah pandemi. Meski demikian, dia tak memungkiri terjadi penurunan permintaan mulai Mei.

"Utilitas pabrik sekarang tinggal 30 sampai 40 persen. Kami pun terpaksa mengurangi tenaga kerja. Sampai saat ini mencapai 500.000 orang yang terimbas," lanjutnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper