Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Investigasi Pajak Digital Indonesia, Pengamat: Gedung Putih Perlu Berhitung

Retaliasi AS bisa memicu perlawanan dari negara-negara yang akan mengenakan pajak terhadap produk digital AS. Pasalnya, baik pajak internasional maupun perdagangan internasional mengenal prinsip nondiscrimination.
Presiden AS Donald Trump dalam pertemuan dengan para eksekutif bank di Gedung Putih di Washington, DC, AS, pada hari Rabu, 11 Maret 2020. Trump mengatakan akan membuat pernyataan padda Rabu (11/3/2020) malam tentang bagaimana dia akan meredam wabah virus corona. / Bloombergnn
Presiden AS Donald Trump dalam pertemuan dengan para eksekutif bank di Gedung Putih di Washington, DC, AS, pada hari Rabu, 11 Maret 2020. Trump mengatakan akan membuat pernyataan padda Rabu (11/3/2020) malam tentang bagaimana dia akan meredam wabah virus corona. / Bloombergnn

Bisnis.com, JAKARTA - Rencana Donald Trump yang mengancam akan melakukan aksi retaliasi terhadap negara-negara yang mengenakan pajak ke perusahaan digital asal Amerika Serikat (AS) bisa menjadi bumerang.

AS melakukan investigasi formal terkait dengan penerapan pajak digital baru di beberapa negara, salah satunya Indonesia. Selain Indonesia, penyelidikan dilakukan di Austria, Brazil, Republik Ceko, Uni Eropa, India, Italia, Turki, Spanyol, dan Inggris.

Penyelidikan dilakukan oleh Negeri Paman Sam setelah sejumlah negara yang mulai mempertimbangkan penerapan pajak untuk layanan digital seperti Facebook, Netflix, Spotify dan lain sebagainya. 

Pakar Pajak DDTC Darussalam mengatakan bahwa prospek tertundanya konsensus global telah meningkatkan ancang-ancang dari berbagai negara misalnya Austria, Turki, Italia, dan Indonesia untuk mengatur pajak digital secara unilateral.

"Dalam hal ini, hegemoni AS tentu semakin mendapatkan perlawanan dan agaknya AS juga akan sangat berhitung jika mengambil langkah balasan," kata Darussalam, Rabu (3/6/2020).

Darussalam menjelaskan perlu dipahami bahwa dalam konteks pajak internasional maupun perdagangan internasional dikenal prinsip nondiscrimination. Keduanya sama-sama berpendapat bahwa tidak boleh terjadi perlakuan yang berbeda berdasarkan kewarganegaraan.

"Khusus sistem perdagangan international ini disebut sebagai prinsip national treatment yang diatur WTO," jelasnya.

Sementara dalam konteks digital, menurut Darussalam yang sering dikaitkan dengan polemik dalam perdagangan internasional ialah pengaturan pengenaan PPh atas entitas digital (bukan PPN). Dalam hal tersebut, belum adanya konsensus global tentang tata cara pemajakannya mendorong negara menggunakan pajak transaksi elektronik (PTE) secara sepihak.

Menariknya, lanjut Darussalam khusus untuk PTE pengenaannya seringkali hanya ditujukan untuk entitas digital dengan nilai di atas peredaran bruto tertentu yang notabene adalah raksasa digital.

"Mayoritas berasal dari AS. Inilah yang membuat berang AS sehingga mendorong aksi balasan di ranah perdagangan. Artinya, diskriminasi dalam hal pajak dibalas dengan diskriminasi dalam hal perdagangan," jelasnya.

Namun demikian, ada dua perkembangan terkini yg akan menentukan ada atau tidaknya aksi balasan tersebut. Pertama, AS sebagai negara G20 telah memberikan mandat pembahasan konsensus global PPh digital kepada OECD.

Kedua, prospek tertundanya konsensus telah meningkatkan ancang-ancang dari berbagai negara semisal Austria, Turki, Italia, Indonesia untuk mengatur secara unilateral.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper