Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan tarif ekspor crude palm oil (CPO) di tengah pasar yang terus tertekan akibat pandemi virus corona, berpotensi menekan kinerja ekspor sawit. Apalagi dalam struktur ekspor, produk minyak nabati (salah satunya dari sawit) memiliki kontribusi cukup besar.
Dikutip dari PMK No.57/PMK.05/2020, kenaikan tarif ini merupakan hasil keputusan dari Komite Pengarah BLU BPDPKS pada 30 Maret 2020 dan 20 Mei 2020. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam rapat tersebut adalah mengubah tarif yang selama ini berlaku di BLU BPDPKS.
Hasil koordinasi tersebut kemudian memutuskan untuk menaikkan tarif atas 23 item komoditas ekspor dari kelapa sawit & produk turunannya dinaikkan sebesar US$5 dolar. Untuk komoditas CPO, misalnya, jika merujuk ke PMK 136/PMK.05/2019, tarif BLU yang dikenakan hanya sebesar US$50 per ton.
Namun pasca berlakunya kebijakan baru, tarif BLU untuk ekspor CPO menjadi US$55 per ton. Kenaikan tarif ini juga berlaku atas ekspor biodiesel dari minyak sawit dengan Kandungan metil ester lebih dari 96,5% - volume yang semula US$20 per ton naik menjadi US$25 per ton.
Ekonom INDEF Andry Satrio Nugroho tak memungkiri bahwa CPO sepanjang tahun lalu telah menikmati berbagai relaksasi yang diberikan pemerintah. Namun untuk kondisi industri yang belum cukup stabil, kenaikan pungutan ekspor ini perlu hati-hati karena bisa menekan permintaan CPO secara global.
"Untuk kondisi industri yang sedang tertekan saat ini, kenaikan pungutan tersebut tentu akan memberatkan," ujar Andry kepada Bisnis, Senin (1/6/2020).
Baca Juga
Andry menambahkan seharusnya penaikan tarif ini dilakukan secara bertahap. Langkah ini penting dilakukan untuk menguji seberapa besar dampak yang diberikan karena ketidakpastian akibat krisis covid-19 ini masih besar.
"Wajar [naik]. Cuma tentu penerapan harus lebih bertahap dan juga melihat permintaan domestik dalam negeri melalui hilirisasi sawit," jelasnya.
Sementara itu peneliti ekonomi di Institute Kajian Strategis (IKS) Eric Alexander Sugandi menyebut ada dua motivasi pemerintah dalam menaikkan tarif CPO itu. Pertama, mendorong penjualan CPO dan turunannya ke pasar domestik, khususnya berkait dengan B30.
Eric mengatakan kenaikan tarif ekspor CPO memang akan menaikkan harga produk ekspornya dan bisa mengurangi demand dari luar negeri. "Tapi ini memang by design dan sudah diperhitungkan pemerintah. Kedua, untuk menambah penerimaan pemerintah," ucapnya.
Adapun Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai secara empirik, kebijakan fiskal yang baik sifatnya counter cyclical. Dia menjadi stabilisator dari fluktuasi ekonomi. Tak hanya terkait APBN saja namun juga terkait instrumen perpajakan.
Namun saat ini kalau sekarang pemerintah menaikan tarif ekspor CPO, menurutnya menjadi tidak konsisten. Pasalnya di satu sisi memberikan insentif (mengurangi beban pajak), di sisi lain menaikkan beban pajak.
"Sekali lagi, terkait kenaikan tarif ekspor CPO ini, tidak tepat kalau pemerintah malah menaikkan tarif ekspor. Yang harus dilakukan adalah sebaliknya, berikan insentif ekspor," tegas Farjy.
Dalam catatan Bisnis, kenaikan tarif yang ditetapkan pemerintah melalui PMK No.57/2020 mengakhiri guyuran relaksasi yang diberikan pemerintah pada tahun 2019. Pasalnya hampir sepanjang tahun lalu, sebagian besar produk kelapa sawit, CPO, & produk turunannya tak dikenakan tarif BLU atau mendapatkan tarif yang rendah.
Pihak Kementerian Keuangan, dalam hal ini Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Pande Putu Oka Kusumawardani tak menjawab saat dikonfirmasi terkait perubahan tarif tersebut.
Kendati demikian, merujuk ke pertimbangan beleid, pertimbangan utama kenaikan tarif itu merupakan tindak lanjut dari surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Salah satu substansi suratnya adalah mengusulkan perubahan tarif BLU BPDPKS.