Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Indef Eko Listianto mengungkapkan pelebaran defisit hingga di atas 6 persen paralel dengan realisasi ekonomi selama kuartal I/2020 yang tidak berjalan sesuai ekspektasi.
Kondisi tersebut menurut Eko memaksa pemerintah untuk menghitung ulang komposisi fiskal untuk mengantisipasi situasi yang lebih buruk ke depan.
"Mereka jadi berhitung ulang. Karena ekonomi hanya tumbuh di bawah 3 persen. Pelemahan pertumbuhan ini nanti berpengaruh ke sektor penerimaan dan keseimbangan fiskal secara keseluruhan," kata Eko, Senin (18/5/2020).
Eko menambahkan dengan kondisi yang serba terbatas dan kinerja penerimaan yang tak optimal, pemerintah memang harus memanfaatkan sumber pembiayaan lainnya untuk menjalankan anggaran.
Defisit fiskal 6 persen sudah dijamin oleh undang-undang, sehingga dari aspek legalitas itu tidak ada yang melanggar. Selain itu undang-undang juga masih memberikan ruang bagi pemerintah untuk menambah utang, selama tidak melebihi 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Namun demikian, memperluas ruang defisit bukannya tanpa risiko. Dengan kondisi perekonomian yang tertekan dan kemampuan pemungutan penerimaan yang masih rendah, desifit yang besar berpotensi membebani proses pemulihan fiskal ke depan.
Bahkan, menurutnya jika memang defisit bisa tembus di angka 6 persen, kondisi yang ditimbulkan bisa saja lebih berat dari tahun 1998. Saat itu, proses recovery akibat krisis 1998 membutuhkan waktu hingga 5 tahun.
"Kalau ini terjadi, pemulihan ekonominya juga bisa sama dengan 1998," jelasnya.
Eko menambahkan dengan tantangan yang besar karena stabilitas ekonomi mulai goyang. Jalan yang perlu ditempuh pemerintah hanya satu yakni memastikan program dalam program pemulihan ekonomi itu tepat sasaran & menyasar ke sektor produktif.
"Dahulukan yang benar-benar terdampak. Jangan mengulang kasus Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang 60 persen tidak dimanfaatkan sektor produktif," tukasnya.