Bisnis.com, JAKARTA – Gencarnya kampanye energi bersih di sejumlah negara berdampak pada berkurangnya pendanaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Menurut Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo, semestinya yang didorong bukan melarang pembangunan proyek PLTU batu bara, melainkan bagaimana lebih meminimalkan emisi akibat dari PLTU batu bara.
Baru-baru ini, sejumlah perbankan dan lembaga pembiayaan asal Jepang yakni Mizuho, Japan’s Sumitomo Mitsui Financial Group Inc (SMFG), dan The Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menyetop secara bertahap penyaluran kredit atau tak lagi membiayai pembangunan PLTU batu bara yang baru.
Menanggapi hal itu, Singgih menuturkan bahwa dalam pertemuan Paris Agreement, kalangan perbankan hanya mau membiayai PLTU batu bara yang menggunakan atau memanfaatkan teknologi super critical atau ultra super critical.
"Jadi, harusnya bagaimana lebih meminimalkan emisi akibat dari PLTU batu bara. Hal ini mengingat batu bara sudah given secara natural dan temuan teknologi menjadi jembatan bagaimana clean coal technology dapat terbangun,\" ujarnya kepada Bisnis pada Selasa (5/5/2020).
Dia menilai semestinya kalangan perbankan bukan sebatas menolak PLTU batu bara, tetapi lebih mendorong bagaimana PLTU batu bara dibangun dengan teknologi super critical, ultra super critical maupun teknologi lainnya.
Namun demikian, posisi Indonesia sebagai negara kepulauan membuat tidak mudah memaksakan teknologi ultra super critical atau super critical yang hanya mampu dibangun dengan minimal kapasitas 600 MW.
"Padahal di Kalimantan, PLTU yang dibangun atau coal mine-mouth power plant bisa jadi jauh di bawah kapasitas itu. Pembangunan PLTU skala rendah ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi perbankan nasional untuk dapat membiayai," kata Singgih.