Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DPR Ikut Soroti Kinerja Garuda Indonesia (GIAA)

Tantangan berat itu diawali dengan terhentinya layanan penumpang ke delapan daerah hub Garuda setelah berlakunya pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Teknisi beraktivitas di dekat pesawat Boeing 737 Max 8 milik Garuda Indonesia, di Garuda Maintenance Facility AeroAsia, bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (13/3/2019)./Reuters-Willy Kurniawan
Teknisi beraktivitas di dekat pesawat Boeing 737 Max 8 milik Garuda Indonesia, di Garuda Maintenance Facility AeroAsia, bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (13/3/2019)./Reuters-Willy Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA - Komisi VI DPR menyoroti soal tantangan kinerja PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) di tengah pandemi Covid-19.

Anggota Komisi VI DPR  Deddy Yevri Sitorus menjelaskan tantangan berat itu diawali dengan terhentinya layanan penumpang ke delapan daerah hub Garuda setelah berlakunya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Selain itu, layanan Garuda pada jemaah umrah dan haji juga berhenti.

Dia memperkirakan perusahaan Garuda Indonesia dari layanan penumpang diperkirakan terpangkas 55 persen sampai akhir tahun 2020.

Wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Utara itu mengungkapkan, berdasarkan data yang disampaikan kepada Komisi VI DPR RI, pengeluaran tinggi Garuda Indonesia di antaranya adalah biaya operasional, biaya sewa pesawat, biaya overhead yang tinggi, serta biaya finansial yang tinggi.

"Biaya sewa pesawat itu tinggi jika tidak ada pengurangan jumlah dan nilai kontrak pesawat di masa pandemi Covid-19,” ungkapnya Senin (27/4/2020).

Deddy melanjutkan, turunnya ekonomi makro dan ekonomi mikro akan semakin memperburuk kondisi Garuda Indonesia meski Covid-19 sudah berlalu. Alasannya adalah beban utang yang jatuh tempo pada 2020, di antaranya adalah sukuk sebesar US$500 juta AS yang jatuh tempo pada Juni 2020.

Pihaknya memperkirakan Garuda Indonesia membutuhkan setidaknya US$600 juta untuk menopang kelangsungan hidupnya sampai akhir tahun 2020. Angka perhitungan tersebut di luar kebutuhan pembayaran SUKUK pada tahun ini sebesar US$500 juta.

Total dibutuhkan US$1,1 miliar. Sebagian besar naskapai di dunia telah mendapatkan suntikan dana dari pemerintahnya untuk penyelamatan hidup maskapai tersebut.

Pandemi Covid-19 mengguncang industri penerbangan di seluruh dunia. Dalam catatannya, ungkap Deddy, ada 117 maskapai dunia yang mengandangkan 90 persen pesawatnya, dan 167 maskapai sisanya sebanyak 40 persen, sehingga mengakibatkan jumlah traveler merosot 87 persen.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper