Bisnis.com, JAKARTA — Industri keramik menyayangkan penertiban operasional pada toko bangunan di Jakarta yang berimbas pada penghentian aktivitas jual beli.
Ketua Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan bahwa sejauh ini dari proses produksi hingga distribusi atau pengiriman tidak ada kendala. Namun, sekarang toko-toko keramik diminta setop operasional, padahal di dalam regulasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sudah jelas dinyatakan bahwa toko bahan bangunan juga diperbolehkan buka.
"Kemungkinan besar kurang sinkron kebijakan di pemerintah provinsi dengan aparatnya di bawah. Asaki sudah melaporkan kendala tersebut kepada Kemenperin," katanya kepada Bisnis, Jumat (17/4/2020).
Sisi lain, Edy mengapresiasi upaya pemerintah dalam mendongkrak daya saing industri salah satunya pemberian harga gas tertentu. Namun, tentunya industri mesti sedikit bersabar sampai selesainya wabah Covid-19.
Dia menyebutkan bahwa saat ini kegiatan ekspor keramik seperti ke negara tujuan utama yakni Malaysia dan Filipina terganggu karena kondisi lockdown di ke dua negara tersebut.
Sementara itu, di dalam negeri kondisi daya beli yang lemah diperparah dengan mulai pemberlakuan PSBB yang meminta pusat-pusat sentra toko keramik tutup sementara.
Baca Juga
"Hal tersebut sangat disayangkan oleh Asaki, padahal sebagai informasi sudah lebih dari lima pabrik keramik yang tutup sementara pascawabah Covid-19 ini," ujar Edy.
Dia pun berharap agar toko-toko bahan bangunan maupun toko keramik segera kembali diperbolehkan untuk beroperasional apalagi menjelang Lebaran pada umumnya banyak proyek renovasi dan pembangunan rumah tinggal yang sudah mulai prosesnya sebelum ada wabah.
Sementara itu, dari sisi pemanfaatan kapasitas produksi nasional, Asaki mencatat adanya penurunan ke level 45 persen hingga 50 persen atau terendah selama ini.
Untuk itu, penuruna dengan harga gas untuk industri tertentu menjadi US$6 per MMBtu, diyakini dapat meningkatkan kembali daya saing industri keramik yang terpuruk semenjak kenaikan harga gas sebesar 50 persen pada 2013. Pasalnya, komponen biaya gas berkisar 30 persen dari total biaya produksi.
Tak hanya itu, Edy menambahkan bahwa peningkatan daya saing industri keramik tersebut diharapkan dapat membantu menekan angka impor produk keramik dari China, India, dan Vietnam.
Jika merujuk pada data impor Januari—Februari 2020 industri pun sangat terkejut karena ada peningkatan impor 9 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.