Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Desak Kepatuhan Restrukturisasi Kredit oleh Bank Swasta

Kebijakan restrukturisasi kredit atau pembiayaan belum diimplementasikan sepenuhnya oleh industri perbankan dan pembiayaan.
Pengunjung melihat produk UMKM di Jakarta, belum lama ini. Bisnis/Abdurachman
Pengunjung melihat produk UMKM di Jakarta, belum lama ini. Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha mendesak pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memastikan kebijakan restrukturisasi kredit atau pembiayaan benar-benar ditaati oleh industri perbankan dan multifinance, khususnya swasta.

Sekadar catatan, mandat restrukturisasi kredit tersebut termaktub dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 11/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang ditetapkan pada 13 Maret.

Namun, hingga saat ini beleid tersebut belum diimplementasikan sepenuhnya oleh industri perbankan dan pembiayaan. Sementara itu, eksekusi kebijakan tersebut sangat mendesak dibutuhkan oleh pelaku bisnis guna menjaga kelancaran likuiditas perusahaan mereka di tengah ancaman kolaps akibat terdampak pandemi Covid-19.

Ketua Umum Asosisasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun berpendapat POJK No.11/2020 sejauh ini hanya berlaku efektif di kalangan perbankan dan industri keuangan nonbank (IKNB) pelat merah, yang langsung berada di bawah pengawasan pemerintah.

“Kalau restrukturisasi kredit mikro seperti di Bank BRI sih bisa cepat. Namun, kalau di bank-bank swasta, apalagi koperasi multifinance, mereka tidak mau tunduk pada peraturan ini. Sebab, mereka bekerja independen dan pemerintah tidak mampu mengawasi. Beda dengan bank dan IKNB milik BUMN atau BUMD yang bisa dipantau langsung oleh pemerintah, makanya mereka mau menuruti kewajiban restrukturisasi kredit,” jelasnya, Jumat (17/4/2020).

Menurutnya, ketidaktegasan pemerintah—dalam hal ini OJK—dalam mewajibkan restrukturisasi kredit di lembaga perbankan dan IKNB swasta mengakibatkan efektivitas POJK NO.11/2020 tidak bertaji dalam meredam dampak pandemi terhadap dunia usaha, khususnya sektor UMKM.

Pemerintah sejatinya menargetkan keringanan kredit bagi sektor tersebut mencapai Rp200 triilun selama masa wabah corona.

“UMKM saat ini sudah tenggelam, tidak heran kalau pemerintah mengeluarkan lagi stimulus [keringanan kredit] bagi UMKM. Namun, itu tidak ada gunanya jika UMKM yang selama ini keseulitan membayar utang karena pandemi, tidak dikeluarkan dari daftar hitam Bank Indonesia.”

Untuk itu, lanjut Ikhsan, kebijakan keringanan kredit bagi pelaku usaha—khususnya UMKM—harus disertai dengan mandat untuk meniadakan sementara proses BI checkingselama masa pandemi.

BI checking itu untuk kondisi normal. Dalam kondisi tidak normal seperti sekarang, seharusnya kewajiban BI checking tidak diberlakukan selama 6 bulan bagi UMKM terdampak. Kalau tidak, bagaimana mereka mau mengakses kredit? Sebenarnya mereka masih punya jaminan, tetapi karena telanjur di-blacklist, makanya tidak sanggup lagi untuk pinjam [ke perbankan].”

Ke depannya, Ikhsan menyarankan agar pemerintah membentuk lembaga leasing milik negara, selain PT Pegadaian (Persero). Pasalnya, selama ini pelaku UMKM lebih banyak menggunakan koperasi atau perusahaan leasing untuk mengakses kredit akibat sulitnya akses ke perbankan.

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani juga berpendapat stimulus restrukturisasi kredit perlu segera diimplementasikan industri perbankan, lantaran dukungan tersebut sangat dibutuhkan pebisnis di tengah seretnya likuiditas perusahaan.

Selama ini, jelasnya, pelaku industri terbebani biaya tenaga kerja di tengah kondisi keuangan perusahaan yang macet akibat pandemi. Akibatnya, opsi pemutusan hubungan kerja (PHK) banyak ditempuh perusahaan.

“[Sayangnya], stimulus kredit—khususnya restrukturisasi kredit usaha dan relaksasi kredit atau penurunan suku bunga pinjaman—sejauh ini masih belum maksimal. Akibatnya,distribusi kredit usaha sebagai stimulus ekonomi yang bisa membantu pengadaan likuiditas perusahaan belum memberikan efek likuiditas keuangan yang diperlukan perusahaan,” ujarnya.

Dengan demikian, menurutnya, implementasi POJK No.11/2020 perlu dipercepat dan dipastikan kelancarannya tanpa mengganggu stabilitas industri perbankan. Harapannya,perusahaan bisa memiliki likuiditas keuangan yang cukup untuk bertahan tanpa PHK besar-besaran.

Tak hanya itu, Shinta berharap agar  pemerintah segera menyadari bahwa paket stimulus yang sudah dikeluarkan saat ini perlu ditambahkan untuk mencakup sebanyak mungkin manfaat dari semua sektor usaha yang membutuhkan.

“Pada saat yang bersamaan, kami juga mendesak pemerintah melakukan upaya penanganan wabah yang lebih efektif lagi dari saat ini karena selama wabah tidak terkendali di Indonesia, ekonomi nasional akan makin sulit diselamatkan meskipun stimulus yang bisa disediakan tidak terbatas.”


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper