Bisnis.com, JAKARTA – Center of Reform on Economics (CORE) merekomendasikan agar pemerintah lebih mengutamakan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi rupiah ketimbang dolar AS untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan.
Dalam keterangannya, CORE berargumen bahwa sentimen pasar keuangan global masih dipenuhi ketidakpastian sehingga minat pembelian SBN cenderung rendah.
Akibatnya, pemerintah pun terpaksa mengeluarkan SBN dengan tenor panjang dan kupon yang tinggi. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya SBN berdenominasi dolar AS dengan tenor 50 tahun.
"Padahal, penerbitan SBN domestik dengan pola pembelian oleh BI memungkinkan pemerintah untuk menetapkan suku bunga atau kupon SBN yang lebih rendah dengan tenor yang wajar," tulis CORE dalam keterangannya, Kamis (9/4/2020).
Bila langsung dibeli oleh BI, pemerintah tidak akan dibebani oleh pembayaran bunga SBN yang tinggi dengan tenor yang panjang.
CORE meyakini penerbitan SBN yang langsung dibeli BI tidak akan mendorong inflasi karena untuk saat ini, permintaan dari masyarakat masih cenderung rendah.
Meski rupiah sedang dalam posisi tertekan, CORE menilai pemerintah tidak perlu terburu-buru menambah suplai dolar AS dengan menerbitkan SBN global.
Cadangan devisa yang dimiliki oleh BI dinilai masih cukup besar dan BI pun masih bisa memanfaatkan fasilitas lain seperti fasilitas pinjaman IMF, perjanjian kerjasama swap arrangements dengan beberapa bank sentral, serta fasilitas repo line dari The Fed.
Meski penerbitan SBN global dibutuhkan karena kurangnya suplai dollar AS akibat turunnya ekspor, penerbitan SBN global masih dapat dilakukan ketika ketidakpastian pasar keuangan mereda.
"Di tengah kebijakan moneter global yang cenderung menurunkan suku bunga maka penerbitan SBN global berpotensi mendapatkan permintaan yang tinggi pada bunga kupon yang lebih baik dengan tenor yang wajar," tulis CORE.
Seperti diketahui, defisit anggaran yang diproyeksikan mencapai Rp852,9 triliun atau 5,07% dari PDB, kebutuhan pembiayaan pemerintah pada tahun ini semakin bertambah.
Tercatat, outlook pembiayaan utang pada tahun ini diproyeksikan naik 131,2% (yoy) mencapai Rp1.006,4 triliun. Nominal ini 286% dari asumsi APBN 2020 yang mematok pembiayaan utang hingga Rp351,9 triliun.
Secara lebih rinci, pembiayaan utang melalui SBN secara neto diproyeksikan mencapai Rp549,6 triliun. Dengan ini, terdapat tambahan pembiayaan SBN hingga Rp160,2 triliun dibandingkan yang ditargetkan pada APBN 2020. Adapun pembiayaan berupa pandemic bond diperkirakan mencapai Rp449,9 triliun.