Bisnis.com, JAKARTA - "We really can't forecast all that well, and yet we pretend that we can, but we really can't."
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Alan Greenspan, ekonom sekaligus mantan petinggi Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) di acara The Daily Show pada 2013.
Alan berusaha menjawab pernyataan Jon Steward, sang pembawa acara, tentang mengapa otoritas finansial Paman Sam gagal mengantisipasi gejolak krisis ekonomi 2008. Menurutnya, banyak pihak tidak memahami risiko di dalam pasar keuangan.
Mereka menganggap prediksi dengan mudah bisa dilakukan. Alan menilai pasar keuangan selama ini selalu bereaksi terhadap tindakan masyarakat.
"Namun, kita tahu masyarakat cenderung edan [screwy]," ujarnya.
Setelah krisis 2008, perekonomian dunia kembali mengalami guncangan karena merebaknya wabah virus Corona (Covid-19) dari Wuhan, China sejak akhir Januari 2020. Optimisme pemangku ekonomi atas ditandatangani kesepakatan tahap I antara AS dan China harus pupus lantaran masifnya penyebaran Covid-19 di seluruh dunia.
Virus Corona tidak hanya menimbulkan dampak kemanusiaan. Tercatat ribuan orang meninggal dunia dan ratusan ribu orang harus diisolasi serta mendapat perawatan intensif. Covid-19 juga membuat perekonomian negara-negara di dunia anjlok dalam sekejap.
AS dan Eropa menghadapi kemungkinan resesi teknis di semester pertama tahun ini setelah wabah coronavirus mengurangi permintaan dan penawaran serta mendorong investor beralih ke tempat yang lebih aman (safe haven).
Fitch Ratings memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 1,3 persen dari 2,5 persen. Kepala Ekonom Fitch Ratings Brian Coulton mengatakan wabah pandemik Covid-19 telah menghancurkan pertumbuhan ekonomi di dunia. Pemangkasan tersebut tersebut, lanjutnya, membuat produk domestik bruto (PDB) global berkurang hingga US$850 miliar dibandingkan proyeksi sebelumnya.
"Tingkat pertumbuhan ekonomi dunia turun, bahkan menuju resesi global," katanya seperti dilansir Bloomberg, Jumat (20/3/2020).
Seperti negara lain, penyebaran virus Corona di Indonesia kian mengganas. Pemerintah mencatat 514 orang pasien positif tertular Covid-19 dan 48 pasien di antaranya meninggal dunia. Hal ini membuat pemerintah pusat dan pemerintah daerah meminta warga untuk beraktivitas di rumah serta menerapkan social distancing.
Tak hanya kesehatan, dampak virus Covid-19 sudah menular ke pasar keuangan Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 'nyungsep' dari level 6.325 pada awal Januari menjadi 4.105 (ytd).
Kaburnya investor asing dari surat berharga negara (SBN) ke instrumen safe haven membuat nilai tukar rupiah kian terpuruk. Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (20/3/2020), rupiah ditutup melemah 0,30 persen ke level Rp15.960. Jumlah itu naik sekitar 10 poin dari harga pembukaan Rp15.950. Meski demikian, rupiah sempat menembus level tertinggi Rp16.225 pada pukul 15.00 WIB hingga akhirnya mereda.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan semua negara menghadapi dampak Covid-19 sehingga investor global melepas asetnya, baik saham maupun SBN.
Bank Indonesia (BI) meningkatkan intensitas kebijakan triple intervention, baik secara spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN yang dilepas investor dari pasar sekunder.
"Kami pastikan penentuan nilai tukar di pasar broker dan interbank berlangsug convergent. Saya tekankan, BI berada di pasar dari pagi sampai sore hari untuk menjaga confidence dan selalu melakukan langkah-langkah yang diperlukan," katanya dalam siaran hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia melalui kanal YouTube, Kamis (19/3/2020).
Pada RDG bulan lalu, Perry meyakini adanya rebound ekonomi pada kuartal II/2020 setelah pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2020 berpotensi turun ke kisaran 4,9 persen.
Menurut ramalan BI, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020 akan mulai mendekati 5 persen.
Namun, prediksi tersebut harus pupus sebelum bisa dijalankan. Masifnya penyebaran Covid-19 dari China ke berbagai belahan bumi membuat BI kembali memangkas pertumbuhan ekonomi dunia dari 3 persen menjadi 2,5 persen serta perekonomian nasional dari 5 persen-5,54 persen menjadi 4,2 persen-4,6 persen.
Perry mengatakan bakal meninjau ulang pola V-shape karena penurunan ekonomi, baik dunia maupun domestik, bisa terjadi dalam rentang waktu yang lebih lama.
"Sebulan yg lalu, kita semua belum memahami karena belum mendapat informasi bahwa penyebaran Covid-19 di negara maju khususnya AS dan Eropa demikian cepat," jelasnya.
Informasi waktu itu, lanjut Perry, dampak dari Covid-19 adalah V-shape yang terasa pada Februari - Maret, dimana peningkatannya dari Februari dengan durasi waktu 6 bulan.
Menurutnya, pola V-shape tampak sesuai dengan kondisi di China yang mulai pulih, ditandai dengan ekspor yang kembali berjalan seiring dengan aktivitas produksi.
Di sisi lain, Bank Sentral menilai hipotesis tersebut tidak bisa diterapkan apabila melihat penularan Covid-19 masih berlangsung di AS, Eropa, dan Asia Tenggara.
Untuk mengurangi kontraksi ekonomi, BI kembali menerapkan stimulus moneter, antara lain penurunan suku bunga 25 basis poin (bps) ke level 4,5 persen serta menerapkan tujuh langkah pengamanan lanjutan.
Di pasar keuangan, Perry mengatakan BI berjanji akan terus berada di pasar untuk menyetabilkan nilai tukar dengan melakukan injeksi likuiditas, baik dalam bentuk rupiah dan valas.
"Kami laporkan tahun ini sudah injeksi Rp300 triliun dalam bentuk SBN dari pasar sekunder sekaligus mmemberikan injeksi likuditas di pasar uang dan perbankan sebesar Rp163 triliun," ungkap Perry.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah masih melihat perkembangan penyebaran Covid-19 sebelum menetapkan proyeksi ekonomi Indonesia hingga akhir 2020.
Dia mengatakan dampak virus Corona berda-beda, tergantung kesiapan masing-masing negara. Hal itu juga tergantung pada perkembangan situasi global dan pemulihan perekonomian China dalam beberapa waktu ke depan.
"Kami menahan diri dulu [pemaparan] proyeksi growth. Saat ini, kami hanya bisa membuat skenario dan kebijakan," ungkap Sri Mulyani.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan skenario V-shape sulit diterapkan lantaran pandemik Covid-19 diperkirakan tidak mereda dalam waktu dekat.
"Pemulihan ekonomi mungkin akan membentuk U-shape, dimana perekonomian akan menyentuh level terbawah dan melandai dulu. Setelah itu, baru bisa rebound," ujarnya ketika dihubungi, Kamis (19/3/2020).
Dia menggambar terganggunya roda perekonomian dunia saat ini pernah terjadi kala wabah SARS menjangkiti China dan dunia pada 2003. Namun, Yose Rizal mengigatkan perekonomian China belum sebesar saat ini.
Negeri Tirai Bambu, lanjutnya, sudah menjadi pusat mata rantai (supply chain) industri dunia. Karena itu, dia menilai dunia bakal lebih terpukul akibat pandemik Covid-19 dibandingkan SARS. Lebih lanjut, dia mengingatkan pelaku usaha dan pemerintah Indonesia akan dampak virus Corona terhadap sektor riil, khususnya manufaktur.
"Dampak Covid-19 ke pasar keuangan memang lebih cepat dibanding riil. Meski terkena pertama, pasar keuangan juga lebih cepat recovery," imbuhnya.
STIMULUS FISKAL
Presiden Joko Widodo mencoba menahan dampak negatif penularan Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia.
Pemerintah merilis paket stimulus I untuk mendongkrak permintaan domestik, misalnya memberi diskon penerbangan dan hotel ke 10 destinasi wisata Nusantara, mempercepat belanja bansos pada triwulan I/2020, dan menambah nominal kartu sembako murah.
Selang beberapa minggu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlanggga Hartanto mengumumkan paket stimulus fiskal II senilai Rp22,9 triliun, antara lain relaksasi pajak penghasilan (PPh) pasal 21, 22, dan 25 serta penyederhanaan proses ekspor impor.
Jokowi juga menginstruksikan kepada seluruh kementerian dan lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (Pemda) untuk merealokasikan anggran dan memfokuskan kegiatan untuk penanganan Covid-19.
Perintah ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 4/2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Meski demikian, dia memperkirakan target PDB Indonesia sebesar 5 persen hingga 5,4 persen tidak akan tercapai pada 2020.
Presiden Joko Widodo menilai pandemi Covid-19 akan membuat pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat. Menurutnya potensi penurunan hingga 150 basis poin (bps) dibandingkan dengan tahun lalu, atau menjadi 1,5 persen.
“Atau mungkin lebih dari itu,” kata Jokowi.
Kementerian Keuangan sudah membuat berbagai macam skenario Covid-19 dan dampak yang muncul dari wabah tersebut.
Salah satu skenario yang mencengangkan adalah perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bisa tumbuhan 2,5 persen saja tahun ini. Bahkan, skenario terburuknya, PDB Indonesia bisa 0 persen pada 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan untuk saat ini masih belum memungkinkan bagi pemerintah untuk membuat proyeksi yang tepat sehingga pihaknya membuat skenario-skenario untuk bersiap apabila yang diskenariokan memang benar-benar muncul.
Skenario tersebut mempertimbangkan beberapa aspek antara lain seberapa wabah Covid-19 terus berlanjut, aspek perdagangan internasional baik dengan China maupun negara lain, aspek konsumsi rumah tangga, disrupsi pada aspek ketenagakerjaan, hingga aspek penurunan harga minyak global akibat perang harga antara Arab Saudi dengan Rusia.
Dia mengakui Presiden Joko Widodo meminta skenario pertumbuhan tersebut.
"Untuk situasi saat ini, skenario pengaruh Covid-19 terhadap pertumbuhan ekonomi, kita masih mampu tumbuh di atas 4%," kata Sri Mulyani, Jumat (20/3/2020).
Namun, bila wabah Covid-19 berlangsung lebih lama 3 bulan hingga 6 bulan dan muncul dinamika lain seperti lockdown serta anjloknya perdagangan internasional hingga 30% dan penerbangan turun hingga 75 persen.
Jika hal itu benar-benar terjadi, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 bisa saja hanya mampu tumbuh 2,5% dan bahkan 0%.
"Kami belum bisa sampaikan angka pastinya. Kita harap ada penemuan vaksin, ini akan makin memperpendek durasi wabah Covid-19," ucapnya.