Bisnis.com, JAKARTA - Wabah virus corona -kemudian dinamakan covid-19 - bermula dari Hubei, provinsi di pedalaman China. Dalam waktu dua bulan, virus menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru, mulai dari Korea Selatan, Italia, hingga Iran. Kematian pertama akibat virus ini juga dilaporkan di Amerika Serikat (AS).
Virus corona tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga memberikan dampak terhadap perekonomian dunia. Awalnya virus corona menghantam ekonomi China, salah satu kontributor paling penting dalam perekonomian global.
Saat perekonomian China melambat, dunia menjadi harap-harap cemas. Dampak virus corona terhadap ekonomi dunia dapat mencakup resesi di AS, Eropa, dan Jepang, dan pertumbuhan ekonomi paling lambat di China. Total jenderal, diperkirakan kegiatan ekonomi senilai US$2,7 triliun hilang akibat efek domino virus corona.
Ada empat skenario ang dikembangkan oleh Bloomberg Economics (6/3/2020). Skenario ini menggambarkan pengalaman di China, distribusi kasus di negara lain, perkiraan risiko pada rantai pasokan global, dan model ekonomi global berskala besar.
Meski demikian, masih banyak hal yang tidak diketahui di seputaran pusat wabahi, dan respons dari pemerintah serta pelaku usaha. Para peneliti pun tidak dapat menginginkan ketepatan. Tetapi keempat skenario ini menawarkan cara melacak dampak potensial melalui negara dan industri, dan menilai urutan besarnya.
Skenario 1: Pukulan besar ke Cina, dan meluas ke seluruh dunia
Untuk seluruh dunia, China adalah negara penting sebagai sumber permintaan, sumber pasokan, dan fokus perhatian terhadap pasar keuangan. Boleh dibilang, China adalah negara palugada, apa lu mau, gue ada.
Baca Juga
- Pada tahun 2019, impor China mencapai US$2,1 triliun. Dari Starbucks hingga ayam goreng, penjualan di China adalah penghasil utama bagi perusahaan multinasional tersebut.
- China adalah produsen komponen manufaktur terbesar di dunia. Ketika pabrik-pabrik Cina tutup, widget yang masuk ke segala hal mulai dari iPhone Apple hingga mesin konstruksi menjadi lebih sulit ditemukan.
- Dampaknya juga menjangkau bisnis kecil. Di Hong Kong, seorang perancang perhiasan menemukan bahwa pemasok China-nya yang serba otomatis dan digital telah offline. Padahal mereka bisa menghasilkan 1.000 cincin dalam sehari. Para pekerjanya hanya menghabiskan waktu satu minggu untuk memecahkan satu saja. "Aku kembali ke pembuatan perhiasan prasejarah," keluhnya.
- Guncangan Tiongkok telah menyebar di pasar keuangan global sebelumnya, termasuk devaluasi yuan yang mengejutkan. virus corona mengulangi pola tersebut, dan dalam skala yang bahkan lebih besar. Ketika ekuitas merosot di seluruh dunia dan memberikan pukulan untuk semua jenis kekayaan dan kepercayaan bisnis.
Titik awal untuk analis adalah apa yang terjadi di China, di mana penjualan mobil telah merosot 80 persen, lalu lintas penumpang turun 85 persen dari tingkat normal, dan survei bisnis menyentuh rekor terendah. Ekonomi, dengan kata lain, praktis terhenti.
Bloomberg Economics memperkirakan bahwa pertumbuhan PDB pada kuartal pertama 2020 telah melambat menjadi 1,2 persen secara tahunan (year on year), terlemah dalam catatan. Jika China tidak cepat bangkit pada bulan Maret, bahkan perkiraan itu justru bisa membuktikan bahwa dunia masih optimistis.
Jika Cina dapat dengan cepat mengendalikan mewabahnya virus corona, dan pabrik dunia bergemuruh hidup kembali pada kuartal kedua, dampak pada ekonomi global dapat diatasi.
Itu kemungkinan nyata. Dalam survei oleh Made-in-China.com, ditemukan bahwa pada akhir Februari, 80 persen perusahaan manufaktur telah kembali beroperasi. Pada akhir April, kata manajer umum Li Lei, kapasitas produksi harus kembali normal.
Jika itu terjadi, guncangan hebat di babak pertama akan diikuti oleh pemulihan di babak kedua. Bagi dunia secara keseluruhan, dan ekonomi utama seperti AS, dampaknya akan sulit dilihat dalam data PDB setahun penuh.
Namun, sebulan yang lalu, dengan ekonomi negara lain yang menderita efek - meski bukan berasal dari penyebaran di negaranya sendiri - tampak seperti kasus dasar yang masuk akal.
Pada awal Maret, dengan lebih dari 6.000 kasus di Korea Selatan, mendekati 4.000 di Italia, ratusan di Jepang, Jerman dan Prancis, dan kekhawatiran meningkat di AS, mulai terlihat optimis.
Memang benar bahwa tidak ada daerah lain yang yang mencetak angka 80.000 kasus seperti China. Pasalnya pemerintah China mengunci sebuah provinsi yang berpenduduk 60 juta.
Meski terlihat kejam, tetapi cara lain justru berpotensi meningkatkan biaya tertinggi untuk kesehatan masyarakat, itu juga dapat menghasilkan dampak pada perekonomian.
Akan tetapi, sebuah perusahaan pencahayaan yang berbasis di provinsi Zhejiang China menggambarkan bagaimana masalah telah berubah bentuk.
Perusahaan kurang lebih telah mengatasi guncangan domestik. Semua pekerja sekarang kembali ke pabrik. Namun, sekarang mereka bersiap menghadapi masalah yang berbeda, yakni pesanan lebih lemah dari luar negeri
Skenario 2: Wabah menyebabkan gangguan lokal dan bahkan menjadi lebih buruk.
Bloomberg berasumsi bahwa Tiongkok membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali normal — pemulihan membentuk pola 'U' bukan pola 'V'.
“Bahkan ketika pabrik kembali bekerja, tidak seperti semua masalah diselesaikan. Banyak pabrik tidak memiliki persediaan yang cukup. Hambatan rantai pasokan membatasi kapasitas produksi,” kata Li, manajer Made-in-China.com.
Bloomberg juga berasumsi Korea Selatan, Italia, Jepang, Perancis, dan Jerman terkena dampaknya. Dalam perhitungan kami, itu membawa pertumbuhan global untuk 2020 hanya turun menjadi 2,3 persen, sedikit turun dari perkiraan konsensus sebelum virus merebak virus 3,1 persen.
Skenario 3: Penularan yang menyebar luas, dan dapat lebih buruk dari itu.
Dalam skenario tiga, kita melapisi kejutan yang lebih parah ke Korea Selatan, Italia, Jepang, Perancis, dan Jerman. Dan Bloomberg menambahkan kejutan yang lebih kecil untuk semua negara yang telah melaporkan kasus pada awal Maret. Itu termasuk AS, India, Inggris, Kanada, dan Brazil — yang berarti bahwa semua 10 negara ekonomi terbesar di dunia mengalami perlambatan saat mereka berjuang menahan penyebaran virus domestik.
Dalam skenario ini, pertumbuhan global untuk tahun 2020 turun menjadi 1,2 persen. Kawasan Eropa dan Jepang mengalami resesi, dan pertumbuhan AS turun menjadi 0,5 persen.
Skenario 4: Pandemi global
Untuk menangkap dampak ekonomi dari pandemi global, Bloomberg kembali berasumsi bahwa semua negara dalam model menghadapi goncangan hebat, setara dengan penurunan pertumbuhan yang diderita Tiongkok pada kuartal pertama.
Jika itu terjadi, pertumbuhan global untuk tahun ini menjadi nol. AS bergabung dengan Eropa dan Jepang dalam kontraksi, dan berpotensi mengubah dinamika pemilihan presiden.
Perekonomian China hanya tumbuh 3,5 persen, yakni paling lambat dalam catatannya, dan kembali ke tahun 1980, ketika reformasi Deng Xiaoping baru saja berjalan. Di seluruh dunia, kehilangan hasil mencapai US$2,7 triliun.
Sebagai informasi, OECD memangkas ekspektasi untuk pertumbuhan global menjadi 2,4 persen dari 2,9 persen, dan memperingatkan bahwa itu bisa jatuh serendah 1,5 persen.
Goldman Sachs memperkirakan kontraksi global pada semester pertama tahun ini. Perkiraan terbaru untuk pertumbuhan PDB kuartal pertama di Tiongkok berkisar dari 5,8 persen hingga -0,5 persen, menggarisbawahi tingginya tingkat ketidakpastian.
Penelitian kebijakan yang mendahului wabah virus corona menunjukkan ada risiko penurunan bahkan yang paling pesimistis dari ramalan ini.
Sebuah makalah tahun 2006 oleh Bank Dunia menyebutkan potensi biaya pandemi flu parah di 4,8 persen dari PDB global - sebuah kejatuhan yang akan menyaingi krisis keuangan. Semua itu membuat alasan untuk penurunan suku bunga mendesak, pengeluaran publik ekstra, atau bahkan keduanya.
Pada pertemuan darurat pada 3 Maret, Federal Reserve menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin, dan pasar berharap lebih banyak akan datang. Itu mengikuti panggilan konferensi G-7 di mana kepala keuangan dari negara-negara maju utama bersumpah untuk menggunakan semua alat kebijakan yang tepat untuk mencapai pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan dan perlindungan terhadap risiko penurunan.
Di epicentrum krisis, People’s Bank of China (PBOC) sejauh ini lebih terukur, memangkas suku bunga hanya 10 basis poin, dan menginstruksikan pemberi pinjaman untuk lebih mudah pada peminjam bisnis yang stres daripada menambah masalah dengan memanggil kredit macet.
Di negara tetangga Korea, bank sentral sama-sama berhati-hati menyerukan pertemuan darurat, tetapi gagal memberikan tingkat pemotongan pasar yang diharapkan. Gubernur Lee Ju-yeol mengatakan dia melihat batasan apa yang dapat dilakukan kebijakan moneter untuk melawan virus.
Virus ini setidaknya sebagian merupakan kejutan pasokan untuk menutup pabrik, dan memaksa pekerja untuk tinggal di rumah.
Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh pembuat kebijakan. Pemangkasan suku bunga dan pengeluaran yang lebih tinggi akan membantu meletakkan dasar di bawah pasar keuangan yang rapuh, dan menghidupkan kembali permintaan setelah krisis berakhir.
Di tengah panasnya wabah, risiko stimulus memicu inflasi tanpa mempercepat pertumbuhan membuat masalahnya lebih buruk, bukan lebih baik.
Menambah tingkat suku bunga yang rendah secara historis di dunia, dan tingkat utang yang tinggi yang membatasi ruang untuk bermanuver dan sudah jelas mengapa para pembuat kebijakan ekonomi, seperti semua orang di dunia, akan berharap wabah dapat dengan cepat dikendalikan. Instrumen mereka sendiri tidak cocok untuk tugas tersebut.