Bisnis.com, JAKARTA - Skema lelang menjadi salah satu komponen penting untuk pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia.
Dalam laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) disebutkan bahwa feed in tariff (FIT) dapat digunakan dalam memulai sejumlah investasi pengembangan energi terbarukan.
Namun, kebijakan yang berpihak pada pasar seperti skema lelang yang transparan dan kompetitif adalah kunci masa depan pertumbuhan EBT di Indonesia.
Elrika Hamdi, peneliti IEEFA mengatakan, berkaca dari negara-negara berkembang lainnya, hasil terbaik di tingkat sistem kelistrikan dapat tercapai jika lelang tersebut dirancang dengan cermat dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sistem.
“Langkah menuju FIT merupakan awal yang bagus dan sangat dihargai, tetapi transisi yang cepat menuju reverse auction yang kompetitif dan transparan adalah pendekatan terbaik untuk mempercepat penyerapan dan investasi ET skala besar di Indonesia,” kata Elrika dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Jumat (28/2/2020).
Menurut dia, pemerintah sedang merancang peraturan presiden (Perpres) terkait dengan tarif pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan baru dan terbarukan (EBT).
Adapun, ketentuan yang akan diatur dalam Perpres itu adalah penggunaan skema FIT, berbeda jika dibandingkan dengan aturan yang berlaku saat ini yaitu menghitung harga pembangkit listrik EBT berdasarkan biaya pokok produksi (BPP), yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50/2017.
Laporan IEEFA menyoroti sejumlah pondasi yang dibutuhkan untuk membangun desain sistem EBT yang kuat. Pondasi tersebut di antaranya adalah, harga pasar lebih baik dibandingkan dengan harga yang ditetapkan melalui kebijakan politis.
Hasil studi menunjukkan, Jerman dan Vietnam yang sebelumnya mengimplementasikan instrumen FIT untuk EBT, sekarang ini lebih memilih untuk melakukan lelang terbalik atau reverse auction untuk mendapatkan tarif listrik yang lebih murah.
“Ada risiko politik yang harus ditanggung bagi pembuat kebijakan yang menentukan harga melalui FIT. Apabila terlalu mahal, maka beban subsidi listrik meningkat. Negara-negara yang berhasil mengimplementasikan FIT, seperti Jerman dan Vietnam, harus menanggung harga listrik yang mahal,” Elrika menjelaskan.
Pondasi lainnya ialah terkait dengan lelang yaitu perlunya mendorong proses yang transparan dan kompetitif untuk mengurangi risiko.
“Setiap negara punya cara berbeda untuk mengurangi risiko lelang, tergantung kemampuan negara tersebut menyerap risiko. Apapun cara yang dipilih, biasanya pasarlah yang menentukan hasil melalui harga penawaran,” ujarnya.
Selain itu, salah satu hal penting untuk keberhasilan penyerapan EBT dalam sistem kelistrikan Indonesia adalah komitmen off-take dari PLN dan proses perizinan yang tidak sulit.
Jaringan yang kuat dan cerdas adalah penentu besaran penetrasi EBT yang dapat diserap oleh sistem.
Erlika menjelaskan bahwa dalam hal penetapan harga listrik EBT di negara-negara berkembang, seluruh biaya cost of capital merupakan penentu utama.
Dia berpendapat lebih baik bagi pemerintah untuk mencari cara agar dapat mengurangi cost of capital, di antaranya dengan cara menurunkan suku bunga bank bagi proyek-proyek EBT.
Di lain pihak, Kirana D. Sastrawijaya, praktisi hukum ketenagalistrikan dari firm hukum UMBRA-Strategic Legal Solutions menuturkan bahwa FIT bukan konsep baru di Indonesia.
Menurutnya, pemerintah Indonesia telah beberapa kali mengeluarkan peraturan terkait FIT yang cenderung berubah-ubah–mengindikasikan tantangan yang sama juga dihadapi Indonesia untuk menemukan harga yang tepat untuk FIT.
Indonesia memulai pengadaan ET dengan konsep penunjukan langsung (sebagaimana hal tersebut dimungkinkan dalam PP Ketenagalistrikan). Model pengadaan ini berubah tahun 2017 dengan keluarnya Permen ESDM 12/2017 menjadi mekanisme pemilihan langsung.
"Pemerintah baiknya juga dapat mempertimbangkan model lelang vs penunjukan langsung dan isu harga EBT hasil lelang dengan harga FIT," katanya.
Pakar ketenagalistrikan Eddie Widiono Soewondho mengatakan, bahwa harga pasar lebih baik jika dibandingkan dengan harga yang ditetapkan melalui kebijakan politis. Dengan catatan,m selama profil risikonya tidak banyak mengalami perubahan.
“Ada hubungan antara besaran tarif dan risiko. Harga pasar itu lebih baik dibanding kebijakan, bisa saja, saya setujul. Asalkan, sepanjang profil risikonya tidak berubah drastis, ini kaitannya dengan seringnya terjadi perubahan kebijakan dan peraturan, apalagi bila sampai terjadi disrupsi,” ujar Eddie.