Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bos Bappenas: Perekonomian Meningkat Jika Donald Trump Kalah

Di sisi lain, Suharso Monoarfa memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan menurun jika Donald Trump menang dan menjabat sebagai orang nomor 1 di Amerika Serikat untuk periode kedua.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Bisnis/Abdullah Azzam
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan hasil pemilihan Presiden di Amerika Serikat (AS) akan berdampak pada perekonomian global, termasuk pertumbuhan di Indonesia.

Dia pun membeberkan skenario yang akan terjadi apabila Presiden AS Donald Trump kalah dalam proses Pemilu di Negeri Paman Sam.

"Kami mendiagnosis seperti ini, apabila Donald Trump tidak terpilih [menjadi Presiden AS] maka pertumbuhan akan meningkat. Jadi kita doakan saja dia enggak terpilih," ungkapnya di acara Kick Off Meeting Rancangan Kerja Pemerintah 2021, Senin (24/2/2020).

Di sisi lain, Suharso melanjutkan pertumbuhan ekonomi global akan menurun apabila Donald Trump menang dan menjabat sebagai orang nomor 1 di Amerika Serikat untuk periode kedua.

Menurutnya, era pemerintahan Trump sangat mengedepankan kebijakan yang populis dan protektif. Hal itu berdampak pada perang dagang (trade war) antara AS dan China. Jika trade war mengalami de-eskalasi, Suharso memprediksi pertumbuhan ekonomi global bisa naik. Begitupun sebaliknya.

Pasalnya, kebijakan Generalized System of Preferences (GSP) disebut sebagai salah satu contoh instrumen yang digunakan AS untuk menekan mitra dagang negaranya.

"Dia enggak buka [pasar]. Trump pakai instrumen GSP sehingga menekan mitra dagang. Kalau dia lebih fleksibel lain cerita. Bukan berarti Pak Harso anti-Trump ya, gawat nanti," ujarnya sambil tertawa.

Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump sedang mengubah kebijakan perdagangannya dengan mengeluarkan beberapa negara dari daftar negara berkembang, termasuk China, India, dan Afrika Selatan.

Dilansir dari Bloomberg, Pemerintah AS mempersempit daftar internalnya terkait negara-negara yang masuk kategori developing dan least-developed untuk menurunkan batasan syarat suatu negara bisa diinvestigasi karena menganggu industri AS dengan subsidi ekspor yang tidak adil. Hal ini diketahui berdasarkan pemberitahuan dari Kantor Perwakilan Dagang AS.

Pemerintah Negeri Paman Sam tersebut mencabut preferensi khusus untuk beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain Indonesia, negara berkembang lain yang terkena pencabutan preferensi khusus yaitu Albania, Argentina, Armenia, Brazil, Bulgaria, China, Colombia, Costa Rica, Georgia, Hong Kong, India, Kazakhstan, Kirgizstan, Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Romania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam.

The US Trade Representative (USTR) menyatakan keputusan tersebut bertujuan untuk memperbarui pedoman investigasi perdagangan karena panduan sebelumnya, yang berlaku mulai 1998, dinilai sudah usang.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper