Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berencana mengembangkan produksi pakan ikan alternatif secara masif, salah satunya magot.
Kepala BRSDM KKP, Sjarief Widjaja mengatakan, kementeriannya berencana untuk mengembangkan tujuh lokasi pusat budidaya magot yang tersebar di seluruh Nusantara yakni Sukabumi, Karawang, Situbondo, Jepara, Banjar, Tatelu (Manado), dan Jambi.
Sejauh ini, beberapa perusahaan telah berhasil mendiversifikasi produk magot yang tak hanya dikemas dalam bentuk pakan kering, tapi juga pupuk dan granul. Berbagai produk tersebut telah dipasarkan baik secara konvensional maupun melalui media online.
Saat ini, kata Sjarief, ada 21 perusahaan di tanah air telah mengembangkan produksi magot. Beberapa di antaranya Biomagg (Depok), Great Giant Pineapple (Lampung), PT Maggot Indonesia Lestari (Bogor), ACEL (Tangerang), Morodasdi Farm (Blitar), dan Kampung Lala (Banyumas).
"Ini menunjukkan bahwa produksi magot dapat dijalankan dalam jumlah besar komersial," ujarnya dikutip dari siaran pers, Jumat, (21/2/2020).
Dalam perikanan budidaya, pakan menjadi hal yang sangat krusial. Ketersediaan bahan baku berprotein tinggi masih terbatas sehingga menjadikan harga pakan ikan cenderung tinggi.
Saat ini, bahan baku penyusun pakan berprotein tinggi yang banyak digunakan ialah tepung ikan yang mayoritas berasal dari impor. “Alhasil, tingginya harga pakan semakin melambung karena harus ditambah dengan biaya impor,” katanya.
Oleh karena itu, magot dipilih sebagai pakan alternatif bergizi tinggi dan cukup terjangkau. Magot adalah larva berprotein tinggi yang dikembangkan dari serangga black soldier fly (BSF).
Sjarief menjelaskan magot mengandung hingga 41-42% protein kasar, 31-35% ekstrak eter, 14-15% abu, 4,18-5,1% kalsium, dan 0,60-0,63% fosfor dalam bentuk kering. Sementara itu, kandungan protein dalam pakan ikan umumnya berkisar antara 20-45%.
“Dengan kata lain, magot mengandung protein dan gizi tinggi yang unggul untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan sistem imun ikan," tambahnya.
Selain bergizi tinggi, harga magot juga cukup terjangkau. Hal ini disebabkan karena magot memiliki ketersediaan bahan baku yang mudah didapat sehingga dapat menekan biaya produksi.
Magot diproduksi melalui pemanfaatan limbah organik. Induk magot, BSF, tumbuh dengan memakan bahan organik yang bisa didapatkan dari sisa makanan organik sisa restoran, rumah tangga, pasar, maupun sumber lainnya.
“150 gram telur BSF (Rp8.000/gram) dapat mengurai 2 ton limbah organik dalam waktu 2-3 pekan. Ini lebih cepat dari proses pembuatan pupuk kompos secara konvensional yang membutuhkan waktu setidaknya 3 bulan,” tutur Sjarief.
Proses biokonversi tersebut dapat menghasilkan 220-350 kg magot dengan harga jual berkisar Rp5.000-Rp10.000 per kg. Selain itu, proses biokonversi juga dapat menghasilkan 100-150 kg pupuk organik dengan harga jual Rp1.500-Rp2.000 per kg.