Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Persoalan Klasik Bayangi Pengembangan Panas Bumi

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebutkan ada sejumlah persoalan yang menyebabkan investasi panas bumi seret. Apa saja?
Petugas mengontrol sumur bor produksi KMJ 71 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Unit I Kamojang, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (28/2)./Antara-Adeng Bustomi
Petugas mengontrol sumur bor produksi KMJ 71 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Unit I Kamojang, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (28/2)./Antara-Adeng Bustomi

Bisnis.com, JAKARTA - Potensi panas bumi di Indonesia mencapai 28,5 gigawatt (GW). Namun, Pembangkit listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang baru ada sebesar 2,1 GW.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan terdapat sejumlah kendala dalam pengembangan panas bumi yakni mahalnya biaya investasi tinggi karena biaya eksplorasi mahal dan biaya Engineering, Procurement, and Construction (EPC) yang tinggi.

"Waktu pengembangan lama yakni membutuhkan waktu 11 tahun hingga 15 tahun," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (18/2/2020).

Selain itu, terdapat kebijakan dan regulasi yang tidak konsisten, misalnya kebijakan harga panas bumi mengalami perubahan 6 kali sejak 2008. Konsistensi kebijakan dan regulasi ini sangat diperlukan.

Hal itu juga menyebabkan sedikitnya investor berinvestasi membangun PLTP.

"Opsi pembiayaan yang terbatas serta proses perijinan yang kadang-kala menghambat. Padahal panas bumi merupakan salah satu jenis energi terbarukan dengan tingkat risiko yang sangat besar dan kebijakan pemerintah ikut andil dalam lambannya pengembangan panas bumi," katanya.

Menurut Fabby,  untuk mendorong peningkatan pemanfaatan panas bumi,  pemerintah perlu menyelesaikan sejumlah hal ini yakni proses perijinan yang ringkas dan satu pintu termasuk proses negosiasi PPA

yang pendek sehingga waktu pengembangan proyek dapat dipangkas.

Pemerintah, lanjutnya, perlu mengambil alih risiko eksplorasi. Terlebih biaya eksplorasi cukup mahal sekitar US$4 juta hingga US$7 juta per sumur dan perusahaan pun rerata menghabiskan 15 persen hingga 20 persen dari total biaya investasinya untuk eksplorasi.

"Yang mampu eksplorasi adalah perusahaan yang punya capital besar dan equity besar. Kalau hanya punya dana sedikit, tidak akan berani/mampu untuk eksplorasi," ucapnya.

Fabby berharap pemerintah dapat menurunkan Engineering, procurement, construction (EPC). Selain itu, menyediakan dukungan pembiayaan untuk proyek-proyek skala kecil, misalnya equity finance di tahap eksplorasi dan persiapan untuk dapat menarik commercial loan pada fase konstruksi

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi menuturkan yang menjadi kendala dalam pengembangan pembangkit panas bumi di Indonesia yakni tak ada kepastian harga jual listrik yang menunjang nilai keekonomian proyek ini.

"Jadi ini kalau kita ketemu harga keekonomian sendiri bisa diatasi kendala harga maka panas bumi berkembang," ujarnya.

Pihaknya pun bersedia menjadi fasilitator harga yang sifatnya win-win solution agar bisa diterima dan terbeli.

Adapun harga bisa diserahkan business to business tetapi pemerintah pun diharapkan hadir.

"PLN harga jual dibatasi oleh pemerintah jadi pemerintah ini harus ada untuk menjebatani kemampuan PLN dengan investor?," tutur Prijandaru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper