Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja ekspor Indonesia masih akan mengandalkan kontribusi dari negara-negara akreditasi,
Adapun negara akreditasi adalah negara-negara mitra dagang di mana RI menempatkan atase perdagangan dan Pusat Promosi Perdagangan Indonesia (ITPC). Berdasarkan data Kemendag pada 2019 lalu, 90 persen kontribusi ekspor nonmigas RI ditargetkan berasal dari 32 negara yang terdaftar sebagai negara akreditasi.
Target total ekspor nonmigas Indonesia pada 2019 dipatok di angka US$175,06 miliar. Sekitar 90,1 persen dari target tersebut atau setara dengan US$157,79 miliar diproyeksi disumbang oleh negara-negara akreditasi.
Sampai Agustus 2019, Kemendag mencatat kontribusi negara-negara akreditasi terhadap kinerja nonmigas telah mencapai 87,3 persen dari total ekspor nonmigas periode tersebut. Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri mencatat kinerja ekspor yang mencapai target perdagangan periode Januari—Agustus 2019 meliputi Arab Saudi, Swiss, Mesir, dan Hong Kong.
Namun target ini diperkirakan tak tercapai pada sebagian besar negara akreditasi. Dari 32 negara yang terdaftar, hanya Vietnam, Swiss, Arab Saudi, Hungaria, dan Meskiko yang diperkirakan mencapai target ekspor sampai akhir 2019.
Untuk mitra dagang terbesar Indonesia seperti China misalnya, Kementerian Perdagangan menargetkan ekspor nonmigas sepanjang 2019 dapat mencapai US$27,93 miliar atau naik 14,5 persen (yoy). Namun realisasi sampai Agustus 2019 justru memperlihatkan hal sebaliknya. Nilai ekspor pada periode ini hanya mencapai US$13,67 miliar atau turun 17,6 persen secara tahunan. Jumlah tersebut pun baru mencapai 49 persen dari target.
Baca Juga
Dalam paparannya, Choirin Nisaa dari Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri Kemendag mengatakan peningkatan ekspor nonmigas Indonesia dapat lebih didorong ke produk yang belum memiliki kekuatan di negara akreditasi, namun memiliki potensi besar.
Dia menyebutkan produk tersebut mencakup sarang walet, ikan, minyak kelapa mentah (CCO), rokok, dan minyak atsiri, dan produk olahan yang mencakup produk berbahan baku karet, kayu, kakao, rumput laut, dan kelapa.
"Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang produk turunan komoditas unggulan dari sektor primer yang potensial, sehingga ekspor Indonesia memiliki nilai tambah yang lebih tinggi," kata Nisaa dalam kegiatan diskusi di Kemendag pada Selasa (11/2/2020).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai diversifikasi pasar ekspor menjadi kebutuhan mendesak di tengah berbagai tantangan perdagangan global. Dia mengemukakan Indonesia perlu memperkuat ekspor ke negara-negara di luar pasar utama, di antaranya ke Timur Tengah.
"Melihat tren belakangan, saya kira diversifikasi ekspor ke luar pasar utama menjadi mendesak. Contohnya adalah ke Timur Tengah, secara hambatan nontarif mereka tidak seperti Uni Eropa, terutama dalam isu lingkungan," ujar Faisal.
Negara-negara Timur Tengah yang masuk daftar negara akreditasi sendiri mencakup Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir. Dari ketiga negara ini, Kemendag memperkirakan hanya target ekspor nonmigas ke Saudi yang memenuhi target. Sampai Agustus 2019, nilai ekspor ke negara tersebut telah mencapai US$1,25 miliar atau 77,3 persen dari target.
Tren defisit perdagangan pun disebut Faishal dapat kembali berlanjut pada 2020 meski selisihnya diperkirakan lebih kecil. Kendati demikian, alih-alih dipacu oleh ekspor yang menguat, Faishal mengatakan hal ini lebih disebabkan oleh impor yang melemah.
"Defisit lebih kecil penyebab lebih banyak karena pelemahan bahan baku impor dan bahan baku penolong karena sejalan dengan konsumsi yang melemah dan penurunan kinerja manufaktur," kata dia.
Dalam hal penguatan daya saing ekspor, Faishal menyatakan pemerintah bisa mengadopsi kebijakan yang menyeluruh dan mencakup insentif fiskal, moneter, dan sektoral yang terintegrasi. Dia memberi contoh bagaimana kinerja ekspor perikanan Vietnam dapat berkembang pesat dan didukung oleh insentif pembangunan kapal penangkap ikan yang diakomodasi pemerintah.
"Sekalipun Indonesia menerapkan penenggelaman kapal untuk kapal nelayan Vietnam, hal tersebut tak terlalu menjadi desinsentif lantaran nelayan dapat menerima bantuan dalam pembangunan kapal. Hal ini juga yang memacu daya saing produk ikan mereka," kata dia.