Bisnis.com, JAKARTA–Wakil Ketua Tetap Bidang Perpajakan Kadin sekaligus Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia (Perkoppi) Herman Juwono menilai revisi imbalan bunga dalam Omnibus Law Perpajakan harus seimbang dengan penurunan PPh Badan.
Seperti diketahui, dalam Omnibus Law Perpajakan diusulkan agar PPh Badan diturunkan dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2021 dan 2022 lalu turun lagi menjadi 20 persen pada 2023.
Di satu sisi, imbalan bunga pun diusulkan berdasarkan suku bunga acuan. Langkah ini dinilai bisa memitigasi perilaku WP yang hendak mencari keuntungan dari upaya hukum yang diajukan.
Imbalan bunga diberikan terhadap kelebihan pembayaran paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui oleh WP dalam pembahasan akhir.
Jumlah bulan yang dijadikan dasar penghitungan imbalan bunga juga diubah menjadi sejak permohonan upaya hukum diterima hingga putusan hukum diberikan.
"Pengurangan PPh badan diberikan, tapi juga ada yang diminta dari pengusaha yakni pengurangan imbalan bunga, itu adalah suatu keseimbangan," ujar Herman, Senin (10/2/2020).
Meski terdapat penurunan imbalan bunga, Herman menilai sanksi administratif berupa bunga yang tarifnya juga mengacu kepada suku bunga acuan masih terlalu berat.
Apabila berpatok pada suku bunga acuan yang ada sekarang yakni sebesar 5 persen per tahun, maka pengusaha bisa membayar hingga 10% jika dimaksimalkan hingga 2 tahun.
"Kalau 5% per tahun maka harus ada jalan tengah, masa pemerintah mau 5 persen. Harapannya jangan sampai 5 persen per tahun," ujar Herman.
Melalui Omnibus Law Perpajakan, besaran sanksi administratif berupa bunga yang harus dibayar WP juga akan diubah dari 2 persen per bulan menjadi mengikuti suku bunga acuan.
Pengenaan sanksi administratif dengan besaran tetap sebesar 2 persen per bulan dipandang tidak adil karena tidak membedakan jenis pelanggaran.
Oleh karena itu, sanksi administratif juga perlu diubah karena selain untuk memberikan efek jera, sanksi juga harus ,mempu meningkatkan kepatuhan sukarela dari WP itu sendiri.
"Sanksi yang terbit melalui proses penetapan seharusnya dikenakan lebih tinggi dari pada sanksi yang terbit atas pembayaran, pelaporan, atau pembetulan SPT oleh WP secara sukarela," ujar pemerintah dalam naskah akademik.