JAKARTA--Peringkat utang Indonesia naik dari BBB ke BBB+ dengan status layak investasi (investment grade) di tengah kepanikan wabah virus Corona.
Catatan tersebut dirilis oleh lembaga pemeringkat utang Jepang, Japan Credit Rating (JCR). Rating tersebut dikeluarkan berdasarkan beberapa faktor yang terjadi di Indonesia, misalnya soal peningkatan konsumsi dalam negeri yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
JCR juga mencatat Indonesia tahan terhadap guncangan eksternal didukung oleh nilai tukar yang fleksibel dan kebijakan moneter yang kredibel.
Sejak pemberian rating terakhir, JCR memfokuskan pada langkah Presiden Joko Widodo untuk memperbaiki kebijakan pada pemerintahan periode kedua.
Pertama, terkait dengan kebijakan fiskal, pemerintah melanjutkan untuk mengimplementasikan reformasi perpajakan, menekan defisit anggaran dengan mengurangi pembatasan bahan bakar subsidi.
Selain itu, JCR menilai Jokowi juga telah meningkatkan upaya mengatasi kendala investasi, salah satunya melalui implementasi Omnibus Law untuk memfasilitasi investasi asing, pengembangan infrastruktur, dan sumber daya manusia.
"Berdasarkan hal di atas, JCR telah meningkatkan peringkatnya satu tingkat dan mengubah prospek menjadi Stabil.
JCR juga telah meningkatkan plafon negara untuk Indonesia dengan satu tingkat ke A-," tulis rilis seperti dikutip Bisnis, Jumat (31/1/2020).
Kedua, pembangunan infrastruktur yang dimulai Presiden Jokowi sejak 2014 telah membuat kemajuan yang mantap.
Proyek Strategis Nasional berjumlah US$310 miliar atau sekitar 2,7 kali dari produk domestik bruto, dengan sekitar 40% dari mereka selesai selama masa empat tahun pertama pemerintahan.
Meskipun Omnibus Law masih dalam pembahasan, JCR menilai kebijakan tersebut merupakan upaya ambisius untuk mengintegrasikan lebih dari 80 undang-undang yang menjadi penghalang investasi. JCR percaya bahwa apabila koalisi politik diperkuat, reformasi ekonomi akan dipercepat di bawah pemerintahan Jokowi.
Ketiga, JCR mencatat defisit neraca berjalan Indonesia memang melebar dalam beberapa tahun terkahir karena peningkatan impor barang modal yang diperlukan oleh pembangunan infrastruktur. Namun, dengan adanya Omnibus Law, Presiden Joko Widodo dapat mengurangi defisit transaksi berjalan dengan peningkatan investasi langsung.
Terakhir, kesehatan fiskal negara telah dipertahankan karena hutang pemerintah pusat tertahan hingga sekitar 30% dari PDB. Meskipun defisit anggaran melebar menjadi 2,2% dari PDB pada 2019, di tengah perlambatan ekonomi.
Presiden Joko Widodo siap untuk melanjutkan kebijakan untuk mengamankan sumber daya fiskal untuk pengeluaran pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia melalui pembatasan subsidi bahan bakar.
"JCR menganggap bahwa pemerintahannya telah menunjukkan keadilan dan rencana yang layak untuk memotong defisit fiskal menjadi 1,76% dari PDB dalam anggaran 2020. Pemerintah berupaya untuk menekan utang menjadi kurang dari 30% dari PDB," tulis laporan JCR tersebut.