Awalnya, tersiar kabar bahwa pemerintah berencana mencabut subsidi LPG 3 kg, tapi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membantahnya. Menurut dia, rencana pemerintah terkait kebijakan subsidi LPG 3 kg masih dalam pembicaraan dengan kementerian/lembaga terkait.
Plt . Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan bahwa subsidi tidak dicabut karena sudah ditetapkan dalam APBN 2020, tetapi subsidi harus tepat sasaran.
Tidak dapat dihindari simpang siurnya kabar perubahan kebijakan subsidi LPG 3 kg itu telah memicu kenaikan harga gas melon di berbagai daerah dari Rp18.000 menjadi Rp35.000 per tabung. Ujung-ujungnya, rakyat miskin harus menanggung beban atas melambungnya harga LPG 3 kg, sebelum kebijakan diterapkan.
Dengan sistem distribusi terbuka selama ini, rakyat miskin, yang mestinya mendapat subsidi, selalu terombang-ambing oleh fluktuasi harga gas melon yang cenderung lebih ditentukan oleh mekanisme pasar, ketimbang Harga Eceran Tertinggi (HET) ditetapkan oleh pemerintah.
Namun, keinginan pemerintah untuk mengurangi subsidi LPG 3 kg sesungguhnya beralasan juga. Pasalnya, subsidi terhadap gas melon cenderung meningkat pada setiap tahunnya.
Pada 2017, kuota subsidi sudah mencapai 6,2 juta metrik ton, lalu naik menjadi 6,53 juta metrik ton pada 2018. Pada 2019, subsidi gas melon kembali naik hingga mencapai 6,97 juta metrik ton atau senilai Rp75,22 triliun, yang lebih besar ketimbang subsidi listrik yang sebesar Rp62,2 triliun pada periode yang sama.
Paling tidak, ada dua penyebab utama membengkaknya subsidi LPG 3 kg. Pertama, penyaluran subsidi yang salah sasaran, lantaran distribusi LPG 3 kg dilakukan secara terbuka, sehingga meningkatkan permintaan.
Kedua, lebih dari 70 persen pasokan kebutuhan LPG di dalam negeri harus diimpor, sehingga ikut memperbesar defisit neraca migas dalam beberapa tahun terakhir ini.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah harus merupakan solusi untuk mengatasi kedua permasalahan tersebut, tidak harus dengan mencabut subsidi kepada rakyat miskin, yang berhak memperoleh subsidi.
Untuk mengatasi masalah salah sasaran, pemerintah harus mengubah distribusi terbuka menjadi distribusi tertutup atau semi tertutup. Selama ini, dengan distribusi terbuka, setiap orang dapat membeli LPG 3 kg dengan harga subsidi tanpa ada hambatan (obstacles) sama sekali, yang menyebabkan permintaan gas subsidi selalu membengkak.
Dengan distribusi tertutup, LPG 3 kg tidak dijual di pasar, melainkan dijual kepada rakyat miskin yang berhak dengan harga subsidi.
Dalam distribusi semi tertutup, LPG 3 kg tetap dijual di pasar dengan harga pasar, seperti LPG 12 kg. Namun, rakyat miskin yang berhak dibagikan kartu dengan barcode untuk membeli lima tabung gas melon per bulan dengan harga subsidi.
Adapun konsumen, yang tidak memiliki kartu barcode lantaran tidak berhak menerima subsidi, masih dapat membeli LPG 3 kg dengan harga pasar. Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jika subsidi LPG 3 kg bisa tepat sasaran, maka negara akan menghemat dana subsidi LPG 3 kg hingga mencapai Rp50 triliun.
Selain perubahan sistem distribusi, pemerintah juga harus mencarikan solusi permasalahan besarnya impor gas melon, yang juga menjadi biang pembengkakan subsidi dengan melakukan diversifikasi LPG 3 kg, melalui jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga (Jargas).
Salah satu pertimbangan dalam penggunaan Jargas adalah cadangan gas bumi nasional masih cukup tinggi dibandingkan dengan cadangan minyak bumi, yang produk sampingannya berupa LPG.
Selain itu, harga jual Jargas dipatok lebih murah ketimbang harga jual LPG 3 kg, tapi pemerintah harus mengalokasi dana APBN untuk membangun jaringan pipa untuk menyalurkan gas hingga ke rumah tangga.
Selain Jargas, pemerintah bisa juga mulai mendorong migrasi dari kompor gas ke kompor listrik induksi, yang bertenaga listrik sekitar 300 watt. Dengan penggunaan daya listrik yang rendah, biaya penggunaan kompor induksi lebih murah ketimbang penggunaan kompor LPG 3 kg.
Migrasi dari kompor gas ke kompor listrik secara masif juga dapat mengatasi potensi kelebihan pasokan (oversupply) listrik PLN pascaselesainya proyek listrik 35.000 MW, selain akan memicu berkembangnya industri kompor listrik induksi di Indonesia.
Kalau pemerintah mau, sebenarnya masih terbentang beberapa solusi untuk mengatasi membengkaknya subsidi LPG 3 kg. Jangan kemudian pemerintah menggunakan solusi paling gampang dengan mencabut subsidi gas melon bagi rakyat miskin yang berhak menerima subsidi.
(Disampaikan pada Forum Diskusi Energi Bisnis Indonesia, 30 Januari 2020)
Penulis adalah Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada