Bisnis.com, JAKARTA - Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) diduga menjadi salah satu penyebab banjir dan tanah longsor, terutama di daerah Lebak di Banten dan Bogor di Jawa Barat.
Dii Lebak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat setidaknya luasan terdampak dari aktivitas pertambangan sekitar 178 hektare (ha) di hulu sungai Ciberang yang berada dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) KLHK Wiratno mengatakan PETI mulai terjadi sekitar 1989 di wilayah Blok Cisoka, Desa Lebaksitu, Kecamatan Lebakgedong, Kabupaten Lebak.
"Tahun 1993 kami pernah selesaikan [masalah] PETI, lubangnya didinamit, tanahnya longsor ke dalam sehingga orang tidak bisa masuk lagi," katanya, Rabu (15/1/2020).
Namun, aktivitas ilegal ini semakin ramai pada 2000-an dengan menggunakan alat-alat yang lebih modern. Setelah kandungan emas semakin menipis, masyarakat pun mencari potensi emas di kawasan yang dulunya sudah terdapat informasi awal.
Dalam 5 tahun terakhir, KLHK bersama otoritas terkait telah melakukan tindakan. Pada 10 Juli 2019, dilakukan penutupan PETI secara simpatik di Blok Cikidang seluas 13,6 ha oleh Balai TNGHS bersama Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (KLHK) Bupati Lebak serta instansi terkait dibantu tokoh masyarakat dan tokoh adat.
Hingga tahun ini, kata Wiratno tercatat masih ada 21 blok PETI di wilayah Lebak dengan luas areal antara 2-5 ha .
Sementara itu, di Kabupaten Bogor, pada 2015 juga dilakukan penertiban lokasi PETI di Blok Longsoran, Desa Bantarkaret. Saat ini, KLHK masih mendata PETI di seluruh TNGHS.
Wiratno menuturkan nantinya seluruh PETI akan ditutup. Pasarnya penambangan ilegal telah berdampak kepada lingkungan.
Dia mengungkapkan di lokasi ditemukan banyak sampah bekas karung-karung yang dipakai untuk mengangkat material batuan olahan emas. Begitu pula sampah aktivitas manusia pelaku PETI.
Tegakan pohon juga rusak akibat pengambilan kayu untuk kebutuhan penopang lobang galian. Struktur tanah ikut rusak.
Adapun yang paling mengkhawatirkan adalah merkuri sisa pengolahan diduga telah mencemari aliran sungai Ciberang, Simeut, Cimandiri, dan Ciladaeun.
"Dampak merkuri di atas ambang batas sampai jauh. Memang sudah harus ditutup selamanya," tegas Wiratno. Dia mengaku sudah berkoordinasi dengan otoritas daerah setempat untuk menutup semua lubang PETI itu.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Radio Sani mengamini pihaknya telah menutup sekitar 20 tambang di TNGHS. Namun secara total pihaknya telah menangani 72 kasus penambangan ilegal di seluruh wilayah Indonesia.
"43 kasus sudah dibawa ke pengadilan dan 29 kasus dalam proses tahapan penyelidikan dan penyidikan," tuturnya kepada Bisnis.