Bisnis.com, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan pengaduan konsumen terkait produk jasa finansial masih mendominasi sepanjang 2019.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan dari 1.871 pengaduan konsumen yang masuk pada tahun lalu, sebanyak 49,6% di antaranya merupakan pengaduan konsumen produk jasa finansial yang meliputi bank, uang elektronik, asuransi, sewa guna usaha (leasing), dan pinjaman daring. Menurutnya, pengaduan konsumen produk jasa finansial sejak 2012 selalu mendominasi atau berada di peringkat teratas.
"Ini menggambarkan pengawasan oleh regulator yang dalam hal ini adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sangat lemah. Belum efektif melindungi konsumen. Banyaknya pengaduan produk jasa finansial ini sekaligus kritik terhadap OJK," katanya di Jakarta (14/1/2020).
Tulus mengatakan lemahnya pengawasan OJK terhadap industri jasa finansial terjadi karena tidak adanya kemerdekaan finansial dari lembaga tersebut. Seperti diketahui, selama ini OJK bergantung pada iuran yang dibayarkan oleh pelaku usaha jasa finansial.
"OJK ini mandul karena pengawasannya tidak independen akibat tidak adanya kemerdekaan finansial. Seharusnya untuk menjalankan tugas dan fungsinya, OJK ini dibiayai oleh APBN saja, jangan iuran," tegasnya.
Menurut Tulus, salah satu kasus yang menggambarkan lemahnya pengawasan OJK adalah kasus gagal bayar polis asuransi Jiwasraya dengan nilai mencapai Rp12,4 triliun. Menurutnya, kasus tersebut tidak akan terjadi apabila OJK melakukan pengawasan secara menyeluruh terhadap industri jasa finansial.
"Kasus itu terjadi karena tidak ada pengawasan menyeluruh dari OJK. Ke mana uang nasabah diinvestasikan seharusnya kan diawasi juga," ujarnya.
Lebih lanjut, selain lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK, Tulus menyebut banyaknya pengaduan konsumen produk jasa finansial yang masuk ke YLKI juga menggambarkan rendahnya literasi finansial di Tanah Air. Masih banyak konsumen yang tidak memahami secara detail perjanjian atau teknis dalam produk jasa finansial yang mereka gunakan.
"Literasi masyarakat akan finansial masih rendah, syarat ketentuan tidak dibaca oleh mereka, ditambah lagi minimnya upaya edukasi dan pemberdayaan konsumen baik oleh pelaku usaha jasa finansial maupun regulator," tuturnya.