Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Merestorasi Konsumsi Rumah Tangga

Sepanjang 2019 berjalan, perekonomian nasional masih mampu tumbuh di kisaran 5%. Penyebabnya, konsumsi rumah tangga masih kuat menjadi mesin pertumbuhan utama perekonomian nasional.
Pengunjung memilih produk pakaian yang ditawarkan dengan diskon di sebuah pusat perbelanjaan di Yogyakarta, Minggu (8/12/2019)./ANTARA FOTO-Andreas Fitri Atmoko
Pengunjung memilih produk pakaian yang ditawarkan dengan diskon di sebuah pusat perbelanjaan di Yogyakarta, Minggu (8/12/2019)./ANTARA FOTO-Andreas Fitri Atmoko

Tak dapat dipungkiri perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang tak kunjung mereda berimbas pada menurunnya kinerja perdagangan dunia. Bahkan, ketegangan antara AS dan China tersebut diprediksi tidak akan menurun dan akan berlangsung lebih panjang.

Untung saja, perekonomian Indonesia tidak terlalu bergantung dari aktivitas perdagangan internasional sehingga dampak dari perlambatan ekonomi global tersebut masih belum terlalu signifikan.

Sepanjang 2019 berjalan, perekonomian nasional masih mampu tumbuh di kisaran 5%. Penyebabnya, konsumsi rumah tangga masih kuat menjadi mesin pertumbuhan utama perekonomian nasional.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kontribusi konsumsi rumah tangga (RT) terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam 5 tahun terakhir rata-rata mencapai 56,2%.

Meskipun begitu, dinamika ekonomi global yang cenderung makin protektif dan disertai dengan aktivitas infrastruktur yang melemah cukup signifikan, mengharuskan kita untuk menakar potensi daya tahan konsumsi RT.

Jika dicermati, konsumsi RT sejatinya bergantung dari pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income), dan disposable income bersumber dari pendapatan modal dan upah. Karena tingkat suku bunga ditengarai masih di level yang cukup kompetitif, maka pendapatan modal dapat dikatakan belum menghadapi kendala yang berarti.

Kuatnya pendapatan modal juga tecermin dari nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang masih bertengger di atas level 6000.

Jika pendapatan modal terindikasi relatif masih cukup kuat, bagaimana dengan pendapatan upah? Seperti diketahui, pendapatan upah di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

Dengan kata lain, makin tinggi tingkat pendidikan seorang pekerja maka upah yang diterima pekerja tersebut cenderung semakin besar. Sayangnya, pekerja Indonesia hingga kini masih didominasi oleh pekerja berpendidikan rendah.

Data BPS mencatat, porsi pekerja dengan tingkat pendidikan tertinggi sekolah dasar (SD) mencapai 41%, sedangkan yang tamat perguruan tinggi hanya 12% (BPS, 2019). Tak heran, sektor pertanian masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja tertinggi dengan porsi mencapai 29% dari total pekerja. Porsi pekerja informal di Indonesia juga masih cukup tinggi yang mencapai 74,08 juta orang atau 57% dari total penduduk yang bekerja (BPS, 2019).

Faktor lainnya adalah masih banyaknya pekerja yang menerima upah di bawah standar upah minimum provinsi (UMP).

Data BPS mencatat, persentase buruh yang menerima upah di atas UMP per Februari 2019 mencapai 53%.

Artinya, masih terdapat masih 47% buruh yang dibayar di bawah standar UMP. Hal itu mengindikasikan bahwa tingkat kepatuhan perusahaan dalam pembayaran UMP tergolong masih rendah. Ironisnya, pola ini sudah berlangsung cukup lama.

Pada saat yang sama, laju pertumbuhan investasi pun tidak begitu menggembirakan. Data BPS menunjukkan, laju pertumbuhan investasi pada kuartal III/2019 (year on year) sebesar 4,21% atau jauh lebih rendah dibandingkan dengan kuartal III/2018 dan kuartal III/2017, yang masing-masing mencapai 6,96% dan 7,08%.

Dengan komposisi pekerja dan laju investasi yang seperti itu, maka konsumsi RT jelas rentan terkoreksi. Begitu pun dengan permintaan agregat.

Dalam situasi seperti ini, menurut Keynes, kebijakan ekonomi makro kontra-siklus (counter-cyclical macroeconomic policies) adalah solusinya. Kebijakan tersebut bisa berupa peningkatan defisit belanja pemerintah, penurunan tarif pajak, atau penurunan tingkat suku bunga.

Namun, menurut Minsky (1965), opsi tersebut belum tentu efektif dalam mendongkrak permintaan agregat. Alasannya, kebijakan ekonomi kontra-siklus yang ditujukan untuk menggairahkan investasi tidak selalu disertai dengan pembukaan lapangan kerja yang inklusif.

Masih banyaknya pekerja informal dan berpendidikan rendah di Indonesia menjadi penyebab utamanya.

Oleh karena itu, dalam jangka pendek, peningkatan bantuan sosial dan pengendalian harga pangan menjadi penting.

Namun, langkah tersebut rasannya belum cukup. Jika ingin merestorasi konsumsi RT maka pemulihan sumber pendapatan utama RT terutama mereka yang berpendidikan rendah menjadi kata kuncinya.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu memperkuat perannya sebagai employer of last resort (ELR) dengan mengeluarkan sejumlah program yang benar-benar mampu menstimulus tumbuhnya pekerjaan yang lebih inklusif di sektor publik. Alasannya, selain upah pekerja di sektor publik lebih mudah diangkat ke level UMP juga karena pekerjaan di sektor publik (public sector employment) memiliki efek inflasi yang lebih rendah daripada pekerjaan di sektor swasta (Minsky, 1969).

Untuk mewujudkannya, pemerintah perlu memperluas cakupan program padat karya tunai dan disertai dengan kontrak kerja yang yang lebih panjang dan jaminan upah yang lebih layak bagi pekerja berpendidikan rendah.

Pemerintah dituntut pula lebih serius menunjukkan keberpihakannya kepada sektor ekonomi yang terbukti banyak menyerap tenaga kerja yang berketerampilan rendah. Upaya ke arah tersebut bisa dimulai dengan memberikan sejumlah insentif yang menarik disertai dengan kebijakan afirmatif kepada sektor pertanian, industri makanan, industri tekstil dan produk tekstil, dan lainnya.

Di luar itu, di era revolusi industry 4.0 seperti saat ini, pemerintah perlu mulai memikirkan untuk mengembangkan aplikasi rintisan yang mampu menjembatani kebutuhan perusahaan padat karya dengan pekerja berpendidikan rendah.

Dengan begitu, pelonggaran kebijakan moneter dan stimulus fiskal dari pemerintah diharapkan mampu mendongkrak permintaan agregat ke level yang tidak hanya berkelanjutan secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan secara sosial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper