Bisnis.com, JAKARTA — Produksi gula pada 2020 berpotensi terkoreksi seiring kondisi calon tanaman yang mengalami penurunan kualitas akibat kemarau panjang pada 2019.
Adapun produksi pada tahun lalu memperlihatkan peningkatan kendati meleset dari target awal yang ditetapkan pemerintah.
Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian Agus Wahyudi mengatakan penanaman tebu di lahan kering yang biasanya dimulai pada Oktober—Desember terganggu lantaran kemarau yang panjang. Dia mengatakan banyak ratoon (tanaman tebu hasil tebangan) yang kering lantaran pasokan air yang berkurang.
“Panen 2019 bagus karena kemarau panjang. Tetapi untuk 2020 perkiraan turun karena ketika ditebang tidak ada air. 2019 lalu hujan baru turun pada Desember, ratoon banyak yang rusak. Mau tidak mau tambal sulam,” kata Agus ketika ditemui pada Rabu (8/1/2020).
Kehadiran pabrik gula (PG) anyar dengan lahan penanaman baru pun disebut Agus belum bisa mengkompensasi potensi penurunan produksi ini. Dia menyebutkan setidaknya perlu 3 tahun sejak pabrik baru beroperasi untuk dapat melakukan penggilingan tebu dari lahan sendiri secara maksimal.
“PG baru itu akan normal setelah minimal 3 tahun. Misalnya PG Rejoso Manis Indo beroperasi 2019, paling tidak bisa menarik tebu dari 10.000 hektare pada tahun ketiga. Memang perlu penyesuaian dan investor PG perlu berjuang, investasinya besar tetapi pengembaliannya butuh waktu lama,” sambungnya.
Berdasarkan taksasi akhir gula yang ditetapkan pada 10 Desember 2019, produksi gula kristal putih (GKP) tercatat mencapai 2,22 juta ton dengan luas panen sebesar 411.435 hektare. Produksi tebu sendiri tercatat mencapai 27,72 juta ton dengan rata-rata rendemen nasional sebesar 8,25%.
Angka produksi ini lebih tinggi dari realisasi produksi pada 2018 yang berjumlah 2,17 ton, namun lebih rendah dari proyeksi awal Kementerian Pertanian yang menargetkan produksi di angka 2,5 juta ton.
Agus mengemukakan melesetnya perkiraan produksi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk penyusutan luas panen.