Bisnis.com, JAKARTA - Perum Badan Urusan Logistik (Persero) mengusulkan adanya pelonggaran skema penyerapan beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP).
Direktur Operasional Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan pelonggaran tersebut berupa perubahan skema penyerapan beras yang dilakukan oleh Bulog. Menurutnya, Bulog akan lebih leluasa dalam melakukan pengelolaan berasnya, apabila diperbolehkan menyerap beras dari petani dengan skema komersial dengan volumenya lebih besar, sementara itu volume penyerapan untuk CBP dilakukan penyesuaian.
“Skema itu kami perlukan agar kami tidak terlalu terbebani untuk mengelola CBP dengan jumlah yang besar, di tengah jalur penyaluran yang terbatas. Kami juga khawatir dengan volume CBP yang terlalu besar, sementara penyalurannya terbatas, maka akan terus terjadi disposal beras,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (12/2/2019).
Selama ini, menurutnya, Bulog tiap tahun ditargetkan melakukan pengadaan beras untuk CBP dalam jumlah besar. Pada tahun ini, Bulog diinstruksikan oleh pemerintah melalui rapat koordinasi terbatas di Kemenko Perekonomian, menyerap beras dari petani sebesar 1,8 juta ton untuk CBP, meskipun realisasinya diperkirakan hanya bisa mencapai 1,5 juta ton. Adapun, stok CBP di gudang Bulog saat ini mencapai 2,3 juta ton.
Sementara itu pada saat yang sama, jalur penyaluran CBP Bulog menyempit. Hal itu salah satunya disebabkan oleh beralihnya skema bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra) menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT) secara penuh mulai tahun ini.
Sebelumnya, Bulog mendapatkan kepastian penyaluran lantaran perusahaan itu menjadi penyalur tunggal beras untuk bansos rastra. Selanjutnya, ketika BPNT diberlakukan secara penuh, Bulog harus bersaing dengan pemasok beras swasta melalui skema pasar.
Untuk itu, dia menilai pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu menghitung kebutuhan riil CBP tiap tahunnya. Terlebih, melalui peraturan baru yang diterbitkan pemerintah, stok beras yang dimiliki oleh pemerintah di Bulog hanyalah yang berhasil disalurkan Bulog melalui operasi pasar atau bantuan bencana alam.
Ketentuan itu tertuang dalam, Peraturan Menteri Keuangan No.88/2019 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Beras Pemerintah dan Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian No. 5/2018 tentang Koordinasi Pengelolaan CBP Untuk Stabilisasi Harga
“Jadi misalnya, berdasarkan perhitungan pemerintah, iron stock CBP yang harus ada di Bulog 200.000 ton per tahun, maka kami hanya perlu menyerap sebesar itu saja. Sisanya kami lakukan penyerapan secara komersial baik dalam bentuk beras medium maupun premium, sehingga berapapun besarnya penyerapan secara komersial, itu menjadi tanggung jawab kami,” katanya.
Dia menambahkan, apabila pemerintah memerlukan beras tambahan untuk kebijakan pengendalian harga di tingkat konsumen, maka Bulog dapat mengalihkan stok beras komersialnya untuk keperluan pemerintah. Pemerintah, nantinya dapat membeli beras komersial Bulog melalui sejumlah skema.
Di sisi lain, dia mengklaim upaya pengamanan harga di tingkat petani ketika musim panen raya dapat tetap terjaga meskipun skema penyerapan secara komersial diperluas. Pasalnya, dengan perluasan penyerapan beras secara komersial, maka petani akan mendapatkan kepastian dalam menjual beras atau gabahnya dengan harga yang layak.
“Untuk itu, ketika pelonggaran skema penyerapan secara komersial oleh Bulog disetujui oleh pemerintah, maka kami harus menyesuaikan diri untuk bertransformasi pola bisnisnya. Kami pun siap melakukan transformasi itu,” tambahnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinasi Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan pemerintah perlu melakukan koordinasi antarlembaga dan kementerian untuk mengakomodasi keinginan Bulog tersebut.
Pasalnya, menurutnya, skema pengelolaan beras CBP diatur dan melibatkan sejumlah kementerian, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Sosial dan Kementerian Keuangan.
“Untuk mengakomodasi usulan Bulog itu, kami harus membahasnya melalui koordinasi antarkementerian dan memerlukan kajian yang mendalam,” ujarnya.
RISIKO MENGINTAI
Menanggapi hal tersebut, Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat Kudhori mengatakan usulan Bulog terkait dengan perubahan skema penyerapan beras itu, akan menyelesaikan persoalan beban pengelolaan CBP di perusahaan pelat merah tersebut.
Namun demikian, menurutnya risiko lain mengintai. Risiko tersebut salah satunya berupa bertambahnya anggaran pemerintah untuk stabilitas harga beras di tingkat konsumen.
“Maka dari itu, sebaiknya solusi paling realistis adalah kembalikan hak Bulog untuk memasok beras BPNT secara penuh. Langkah itu akan membuat stok beras CBP Bulog tersalurkan dengan maksimal. Di sisi lain,pemerintah tidak perlu menambah anggaran untuk membeli beras dari stok beras komersial milik Bulog,” katanya.
Dia mengatakan apabila skema pelonggaran penyerapan beras oleh Bulog diakomodasi oleh pemerintah, Bulog juga akan kehilangan perannya sebagai stabilitator harga beras nasional. Dia mengklaim, operasi pasar yang dilakukan pemerintah selama ini, bukan faktor utama yang membuat harga beras di masyarakat cenderung stabil.
Terelebih, realisasi operasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir selalu berada di bawah target yang ditetapkan. Adapun, hingga 2 November 2019, operasi pasar CBP yang berhasil dilakukan Bulog baru mencapai 483.000 ton dari target 1,48 juta ton.
Menurutnya, stabilnya harga beras di tingkat konsumen selama ini disebabkan oleh faktor psikologis tingginya stok CBP di gudang Bulog. Di sisi lain, peran satuan tugas pangan yang sangat agresif di lapangan cukup berpengaruh pada pergerakan harga beras.
“Selama ini peran stabilisasi harga beras di konsumen, sangat efektif ketika bansos rastra dilakukan Bulog. Ketika BPNT dilakukan tanpa melibatkan Bulog sepenuhnya, sementara Bulog mulai beralih ke segmen komersial, kami khawatir proses stabilisasi harga di konsumen akan terganggu,” katanya.