Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kinerja Ekspor Alas Kaki Terancam Melorot Tahun Ini

Kinerja industri alas kaki di pasar domestik masih tertekan oleh impor produk jadi.
Pengunjung memilih sepatu di pameran produk kulit/JIBI
Pengunjung memilih sepatu di pameran produk kulit/JIBI

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Persepatuan Indonesia memperkirkan kinerja ekspor alas kaki pada tahun ini menjadi realisasi terendah dalam satu dekade terakhir.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengataan pada Januari - September 2019, kinerja ekspor anjlok 12,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

"Kami berharap masih bisa tumbuh atau tidak turun saja. Ini bisa jadi yang terendah 10 tahun terakhir, bahkan 20 tahun terakhir," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (1/12/2019).

Selain ekspor, Firman juga mengakui kinerja industri alas kaki di pasar domestik masih tertekan oleh impor produk jadi. Kondisi itu, menekan kinerja para pelaku industri kecil dan menengah.

Badan Pusat Statistik mencatat produksi industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki untuk segmen mikro dan kecil pada kuartal III/2019 turun hingga 6,3% (year-on-year/yoy). Secara kuartalan, produksi industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki untuk segmen mikro dan kecil bahkan turun 7,45% (quarter-to-quarter/qtq).

Padahal, untuk segmen besar dan sedang, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki masih bisa bertumbuh, yakni sebesar 1,83% (yoy) dan 5,83% (qtq).

"Ekspor masih turun 12,9% pada Januari - September, sedangkan impor produk jadi meningkat. Ini masa sulit bagi kami," ujar Firman.

Kondisi itu, katanya, membuat utilitas kapasitas produksi sektor alas kaki mulai menurun. Saat ini, sejumlah pabrik mulai mengurangi jam kerja dengan tujuan efisiensi.

Sejumlah pabrikan bahkan rela menggarap pekerjaan apa saja, termasuk pesanan dalam jumlah kecil, agar produksi tetap berjalan.

"Memang belum ada PHK ya, tetapi sudah dirasakan dampaknya. Sekarang apa pun dikerjakan, meski margin tipis atau bahkan tidak ada margin," ujarnya.

Firman sebelumnya berharap pemerintah bisa memberikan prioritas kepada sektor-sektor manufaktur berorientasi ekspor dalam penyesuaian tarif listrik khusus untuk industri. Pasalnya, formulasi itu sejalan dengan visi pemerintah untuk mengatasi salah satu problem utama, yakni defisit neraca perdagangan.

Adapun Sekretaris Jenderal Aprisindo Lany Sulaiman sebelumnya menyatakan bahwa Aprisindo menolak upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK) pada 2020. Pasalnya, selama ini UMSK dinilai telah menjadi beban tambahan bagi pelaku industri, khususnya yang padat karya dan berorientasi ekspor. Beban itu membuat industri tidak berdaya saing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Galih Kurniawan

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper