Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tata Niaga Beras: Aturan HET Berpotensi Tidak Efektif Jika Terlalu Spesifik

Keinginan Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) agar beleid yang mengatur harga eceran tertinggi (HET) bisa mengatur harga beras di perbatasan wilayah zonasi secara khusus perlu dipertimbangkan kembali lantaran berpotensi membuat penerapan HET menjadi tidak efektif.
Pedagang menata beras di Pasar Tradisional Pinasungkulan, Manado, Sulawesi Utara, Senin (29/4/2019)./ANTARA-Adwit B Pramono
Pedagang menata beras di Pasar Tradisional Pinasungkulan, Manado, Sulawesi Utara, Senin (29/4/2019)./ANTARA-Adwit B Pramono

Bisnis.com, JAKARTA - Keinginan Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) agar beleid yang mengatur harga eceran tertinggi (HET) bisa mengatur harga beras di perbatasan wilayah zonasi secara khusus perlu dipertimbangkan kembali lantaran berpotensi membuat penerapan HET menjadi tidak efektif.

Sebagai catatan, selama ini HET beras diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 57/2017 tentang Penerapan HET Beras yang menggantikan Permendag No. 27/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.

Melalui beleid tersebut Kementerian Perdagangan membagi HET berdasarkan tujuh wilayah atau zonasi yang terdiri dari; Jawa, Lampung, dan Sumatra Selatan; Sumatra kecuali Lampung dan Sumsel; Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB); Nusa Tenggara Timur (NTT); Sulawesi; Kalimantan; serta Maluku dan Papua.

Guru Besar Tetap Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (Unila) Bustanul Arifin menilai perubahan kembali aturan terkait dengan HET menjadi lebih spesifik seperti keinginan Bulog kemungkinan besar akan menghilangkan efektivitasnya. Dia mengkhawatirkan apabila HET tersebut diubah menjadi semakin kompleks, nasib beras kemungkinan besar akan seperti pupuk yang proses penyalurannya seringkali menimbulkan kegaduhan.

“Bulog ini keinginannya seperti apa perlu dipelajari lagi tentunya, tetapi perubahan yang diinginkan itu jangan sampai menghilangkan efektivitas dari HET itu sendiri. Jangan sampai seperti pupuk yang diatur per wilayah benar-benar spesifik sampai ketika dibawa atau dijual keluar wilayah itu bisa dibawa ke ranah hukum,” katanya usai menghadiri forum diskusi yang digelar di Jakarta, Jumat (29/11/2019).

Lebih lanjut, Bustanul menjelaskan HET sebagai instrumen digunakan untuk menjaga harga suatu komoditas agar tidak melampaui daya beli masyarakat dan harga keekonomian sesuai kualitas tidak akan berfungsi apabila implementasinya diikuti sejumlah persoalan. Adapun, sebagai solusi ia menyebut perlu adanya kebijakan yang konkrit dan terintegrasi dari hulu hingga hilir untuk menentukan HET.

“Dia itu harus bergabung dengan kebijakan terkait, entah nantinya akan bernama HET atau tidak dia harus menjadi price policy yang solid. Karena kalau dengan konsep sekarang ini Permendag No. 57/2017 tentang Penerapan HET beras ini hanya ada di kertas dan beras dianggap sebagai harga administratif saja itu ya tidak bisa di-enforce juga,” paparnya.

Kemudian untuk regulasi yang mengatur harga beras di Tanah Air, Bustanul menilai sudah seharusnya tidak hanya berwujud peraturan menteri saja. Dia menilai perlu regulasi yang lebih kuat untuk mengatur hal tersebut dan tentunya bisa menegaskan bagaimana posisi Bulog yang selama ini punya kewenangan sebagai pengelola pangan nasional dan juga menjadi stabilisator harga.

“Regulasinya kalau bisa jangan hanya Permendag saja, perlu Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) yang nantinya bersama dengan Permendag. Supaya kebijakan ini punya kredibilitas dan lebih kuat, desainnya harus diubah. Lewat [kebijakan] itu bisa juga Bulog ini di reposisi. Entah itu dijadikan sebagai badan pangan atau diberikan penugasan khusus,” jelasnya.

Bustanul menambahkan sudah sepatutnya perubahan atau penyusunan regulasi bisa dilakukan sesegera mungkin di awal pemerintahan jilid kedua Presiden Joko Widodo yang masih belum menghadapi persoalan-persoalan besar. Menurutnya, apabila hal tersebut dilakukan di pertengahan periode pemerintahan, tidak menutup kemungkinan pembahasannya akan semakin berlarut-larut.

“Sesegera mungkin bisa dilakukan, mumpung masih awal masa pemerintahan atau masih bulan madu ibaratnya. Jika sudah di pertengahan nanti pasti muatan politiknya akan semakin besar dan tentunya akan mengganggu,” imbuhnya.

Ketua Perhimpunan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) yang juga mantan Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Dwi Antono menilai HET beras yang diatur berdasarkan Permendag No. 57/2017 tentang Penerapan HET Beras perlu dievaluasi kembali. Selain zonasi atau pembagian wilayah, menurutnya selisih harga antara beras medium dan premium juga perlu dievaluasi.

“Antara premium dan medium itu saja tidak pas bedanya, kalau memang [beras] premium dihargai sekian ya selisihnya juga harus dilihat dengan [beras] medium itu berapa. Jadi, kalau itu dihitung benar-benar sepenuhnya berdasarkan proses perberasan dari awal bagaimana ya akan berbeda, perlu dikaji lagi intinya,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Perdagangan dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto mengatakan pihaknya hingga saat ini masih belum berencana untuk merevisi Permendag No. 57/2017 tentang Penerapan HET Beras. Dirinya mengklaim bahwa HET beras sampai dengan saat ini masih relevan lantaran berhasil menjaga stabilitas harga beras di Tanah Air.

“Sepanjang HET [beras] masih relevan kami belum akan mengubahnya. [Berdasarkan] laporan harian kami di seluruh dinas yang membidangi urusan perdagangan di daerah, harga beras medium masih terkendali dengan HET yang ada. Oleh karena itu, masih akan kami gunakan,” katanya kepada Bisnis.

Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan beleid yang menggantikan Permendag No. 27/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen itu belum mengatur secara spesifik HET beras di perbatasan wilayah. Menurutnya, hal tersebut yang pada akhirnya membuat Bulog, pedagang hingga masyarakat setempat terpaksa merogoh kocek lebih dalam.

“Nah ini misalnya di wilayah A berbatasan langsung atau lebih dekat dengan wilayah B yang HET-nya lebih rendah dan beras yang dipasok ke wilayah A juga berasal dari wilayah B. Seharusnya HET yang digunakan di wilayah A ini bisa mengikuti HET di wilayah B karena jaraknya hanya berbeda sekian. Tetapi tetap tidak bisa karena sudah berbeda teritori,” ujarnya.

Lebih lanjut, Tri mengatakan pihaknya sudah sejak lama mengutarakan keluhan tersebut kepada pihak Kemendag. Namun, hingga kini masih belum ada titik terang dari pembahasan yang sudah dilakukan,

“Sudah kami minta evaluasi ke Kemendag, sudah dibahas juga, tapi masih belum diputuskan juga,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rezha Hadyan

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper