Bisnis.com, JAKARTA - Komisi IV DPR RI meminta pemerintah memasukkan kelapa sawit dalam perundingan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa (Indonesia - European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU-CEPA).
Wakil Ketua Komisi IV DPR Hasan Aminuddin mengatakan sawit merupakan komoditas strategis dan penopang perekonomian nasional, terbukti mampu menyumbang devisa negara hingga ratusan triliun rupiah serta memberikan lapangan kerja bagi jutaan rakyat Indonesia.
"Sawit merupakan berkah bagi bangsa Indonesia. Maka dari itu, pemerintah harus memperjuangkan kelapa sawit dalam semua pembahasan perdagangan dengan negara lain, termasuk di antaranya dengan Uni Eropa ini," ujarnya di sela Rapat Dengar Pendapat Komisi IV DPR RI dengan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa.
Selain itu, tambahnya, komoditas tersebut juga berperan besar terhadap pembangunan daerah yang mana banyak wilayah di luar Pulau Jawa yang perekonomiannya menggeliat karena adanya perkebunan kelapa sawit.
Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah harus memperjuangkan kelapa sawit dalam berbagai forum internasional, termasuk di antaranya pada lanjutan perundingan IEU-CEPA ini. Hasan Aminuddin yang merupakan legislator dari Dapil Jatim II itu mendukung langkah yang ditempuh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang tetap akan menjadikan sektor sawit sebagai pembahasan prioritas dalam negosiasi IEU-CEPA, karena sejalan dengan misi Presiden Joko Widodo untuk mengembangkan dan melindungi industri sawit.
Daniel Johan, Wakil Ketua Komisi IV DPR, mengatakan pemerintah harus tegas mengatakan kepada Uni Eropa bahwa lanjutan perundingan IEU-CEPA bisa dilanjutkan dengan syarat menyertakan komoditas kelapa sawit dalam perundingan tersebut. "No sawit, No CEPA," kata legislator asal Kalimantan Barat ini.
Dia meminta pemerintah tetap melawan aksi diskriminatif Uni Eropa (UE) terhadap minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia, pasalnya, dalam dokumen internal Uni Eropa (UE) mengenai Delegated Act-RED II, UE mengindikasikan bakal memperlakukan minyak kedelai secara berbeda dengan CPO. UE memasukkan minyak kedelai sebagai produk minyak nabati yang berkategori berkelanjutan bersama minyak biji bunga matahari dan biji rapa yang diproduksi negara-negara anggota UE.
“Kami parlemen Indonesia juga meminta Parlemen Eropa melihat secara objektif bahwa secara produktivitas sawit lebih produktif jika dibandingkan dengan bunga matahari (sun flower) maupun biji rapa (rapeseed),” kata Daniel.
Daniel menegaskan jika UE benar-benar melarang minyak sawit masuk ke Eropa, justru akan merugikan mereka, sebab selama ini banyak industri makanan maupun minuman yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakunya.
"Selama ini mereka membeli minyak sawit dengan harga yang murah, tapi karena minyak sawit dilarang masuk ke kawasan Eropa, maka industri di sana mau tidak mau akan membeli minyak nabati nonsawit yang harganya jauh lebih mahal ketimbang minyak nabati berbasis sawit," katanya.
Namun, Daniel mendesak pemerintah tetap memperjuangkan sawit dalam lanjutan perundingan IEU-CEPA. "Pemerintah harus berjuang agar sawit masuk dalam bagian pembahasan perundungan IEU-CEPA. Kita harus berjuang membela komoditas strategis nasional ini," katanya