Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Realisasi Megaproyek 35.000 MW Belum Signifikan

Realisasi megaproyek 35.000 MW belum bertambah signifikan padahal sejumlah pembangkit besar yang masuk dalam proyek tersebut telah rampung.
Pekerja melakukan pemeliharaan rutin di Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Grati di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (21/3/2019)./ANTARA-Widodo S Jusuf
Pekerja melakukan pemeliharaan rutin di Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Grati di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (21/3/2019)./ANTARA-Widodo S Jusuf

Bisnis.com, JAKARTA - Realisasi megaproyek 35.000 MW belum bertambah signifikan padahal sejumlah pembangkit besar yang masuk dalam proyek tersebut telah rampung.

Berdasarkan data PLN, hingga Oktober 2019, dari 35.516 MW pembangkit yang masuk dalam megaproyek tersebut, baru sebanyak 11% atau sekitar 3.946 MW pembangkit yang beroperasi komersial (commercial operation date/COD).

Sisanya, sebanyak 65 persen atau 23.129,8 MW masih melakukan konstruksi, 20 persen atau 6.877,6 MW masih melakukan penyelesaian pendanaan (finnacial closing), 2% atau 829 MW sedang pengadaan, dan 2% atau 734 MW sedang tahap perencanaan.

Adapun berdasarkan catatan Bisnis, dua pembangkit besar yang seharusnya masuk pada sistem kelistrikan di Indonesia adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Jawa-7 dan PLTU Jawa-8 yang masing-masing berkapasitas 1.000 MW. Kedua proyek tersebut telah selesai melakukan konstruksi tetapi hingga saat ini belum juga COD dan masuk ke dalam sistem kelistrikan.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan realisasi pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai dengan target awal saat megaproyek ini dicanangkan menjadi salah satu batu sandungan. Pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai target ini juga diikuti dengan pertumbuhan konsumsi listrik yang rendah. 

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2019 adalah sebesar 5,02 persen. Sedangkan pertumbuhan penjualan listrik PLN hingga Oktober 2019 adalah sebesar 4,15 persen.

Menurut Rida, seharusnya ada elastitas pertumbuhan konsumsi listrik yakni pertumbuhan konsumsi listrik lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi yakni setidaknya sebesar 1,1 persen hingga 1,2 persen. Namun, dalam kenyataannya, pertumbuhan penjualan listrik PLN justru berkontraksi yakni berada dibawah pertumbuhan ekonomi. 

"Kita lagi mengeluasi, menganalisis kenaa terjadi seperti itu, untuk menyampaikan analisis ke depannya, baru pendahuluan saja, ngobrol-ngobrol," katanya kepada BIsnis, Senin (25/11/2019).  

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengatakan hingga saat ini sebagian besar pembangkit megaproyek 35.000 MW sedang masuk tahap konstruksi. Sebagian besar pembangkit tersebut akan melakukan COD pada 2023. 

Pada tahun ini akan masuk dua pembangkit baru yakni PLTU Jawa-7 dan PLTU Jawa-8 dengan kapasitas total 2.000 MW. Saat ini kedua pembangkit tersebut sedang melakukan commisiong test dan kemungkinan bisa melakukan COD pada Desember 2019 atau mundur dari target awal yang pada Oktober 2019. 

Menurutnya, mundurnya target COD kedua pembangkit tersebut tidak memiliki kaitan dengan demand.

"Tidak ada masalah karena transmisi juga sudah, soal demand wong ini pembangkit murah," katanya. 

Pada 2020, akan ada tambahan 5.000 MW pembangkit yang beroperasi. Jumlahnya akan terus menambah hingga 2023. Keseluruhan pembangkit 35.000 MW baru akan rampung total pada 2024. 


"2023 [paling banyak beroperasi] tetapi itu hampir sama mulainya dengan yang beroperasi 2020, 2021, 2022, dan 2023, karena pembangkit besar-besar dan melakukan PPA [power purchase agrement] pada 2017," katanya. 

Kebutuhan Listrik

Sripeni mengakui demand atau kebutuhan listrik menjadi salah satu konsern PLN apabila nantinya seluruh pembangkit 35.000 MW beroperasi. Pasalnya, tanpa didukung dengan demand yang akan menyerap semua listrik yang diproduksi pembangkit tersebut, PLN akan mengalami permasalahan keuangan. 

Menurutnya, lantaran hal tersebut PLN masih mereview perencanaan 2 persen pembangkit megaproyek 35.000 yang berkapasitas 734 MW untuk dikerjakan atau menyesuaikan dengan kondisi kebuituhan listrik setiap daerah. 

Penyesuaian perencanaan pembangkit tersebut dituangkan dalam penyusunan Rencana USaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2020 - 2029. 

"Kita membangun terus tidak ada demand padahal ada cost of fund. tadi 2 persen masih review, disesuaikan kembali kita lihat," katanya.  Menurutnya, pengerjaan pembangkit megaproyek 35.000 MW sejauh ini tidak mengalami kendala, Sebaliknya, permasalahan justru terjadi pada pembangunan transmisi. Padahal, tanpa transmisi, lisrik yang diproduksi pembangkit tersebut tidak mampu sampai ke konsumen. 

Pasalnya, pengerjaan pembangkit lebih cepat dibandingkan transmisi yang terkendala pada tahap pembangunan. Kendala yang ditemui yakni mulai dari kesiapan kontraktor berupa jumlah tenaga kerja di lapangan maupun keuangan. 

Hingga Oktober /2019, realisasi pembangunan transmisi untuk megaproyek 35.000 MW sepanjang 19.149,8 kilometer sirkuit (kms) atau 40% dari perencanaan. Sisanya, sebanyak 32% atau 15.319,2 MW sedang tahap konstruksi, dan 28% atau 13.177,0 MW masuk tahap pra konstruksi. 

"Kadang-kadang di atas kertas mereka memiliki kemampuan tenaga kerja, tetapi di lapangan tersoak, kontraktor berguguran," katanya. 

Ketua Komisi VIII Dari Fraksi Nasdem Sugeng Suparwoto mengatakan PLN perlu menyampaikan roadmap progress pembangunan megaproyek 35.000 MW per wilayah yang telah melakukan COD., masih konstruksi, maupun terkendala paling lambat 2 Desember 2019.

Anggota Komisi VII Dari Fraksi PDIP Mercy Chriesty Barends
mengatakan PLN tidak menampilkan data rinci mengenai pengerjaan megaproyek 35.000 MW. Padahal, dinilai pengerjaan pembangkit tersebut perlu dirinci per proyek dan wilayah sehingga dapat diketahui pembangkit mana saja yang pengerjaannya mangkrak atau bermasalaj.

"Saya cukup kesal melihat data seperti ini, tidak memperlihatkan data apapun, padahal ini rapat perdana kita," katanya.

Fokus Komisi VII

Anggota Komisi VII Fraksi Golkar Maman Abdurahman mengatakan megaproyek 35.000 MW perlu menjadi fokus Komisi VII sebab sudah lima tahun proyek ini dicanangkan.

"Kalau perlu kontraktor kita panggil, ke depan apabila dianggap perlu, perusahaan-perusahaan yang mangkrak dipanggil ke sini," katanya. 

Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menilai banyak hal yang menjadi kendala pengembang dalam mengerjakan pembangkitan dalam megaproyek 35.000 MW. Kendala tersebut mulai dari tarif yang tidak menarik, aturan mengenai lokal konten, skema t skema bangun, miliki, operasikan, dan alihkan atau build, own, operate, transfer (BOOT) yang tidak menguntungkan, hingga perjanjian jual beli lisytrik yang berisikan force majeur clause.

"Kami masih berharap pemerintah terus melakukan pembenahan dan perbaikan ke depannya," katanya kepada Bisnis, Senin (25/11/2019). 

Guru Besar FTUI dan ketua STT-PLN Iwa Garniwa mengatakan meskipun realisasi megaproyek 35.000 MW lambat tetapi ini justru menguntungkan karena pertumbuhan penjualan listrik yang tidak sesuai denagn harapan. Terlebih, hampir seluruh wilayah sudah mempunyai daya cadangan yang cukup.

Begitu juga dengan rasio elektrifikasi yang sudah mencapai 98,86 persen

"Pertumbuhan industri cenderung diam di tempat, perdagangan mengarah ke online sistem yang produknya banyak impor sehingga pertumbuhan listrik relatif rendah, sehingga listriknya mau di jual kesiapa," katanya kepada Bisnis, Senin (25/11/2019). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper