Bisnis.com, JAKARTA - Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 tertahan di angka 5 persen sebagaimana yang diproyeksikan dalam laporan sebelumnya.
Proyeksi OECD kali ini tertuang pada OECD Economic Outlook November 2019.
Proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan proyeksi IMF dan World Bank yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5,1 persen dan Asian Development Bank (ADB) yang memproyeksikan di angka 5,2 persen.
Sikap OECD yang tidak mengubah proyeksinya ini pun menambah daftar panjang proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di luar range proyeksi Bank Indonesia (BI).
BI sendiri memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 mencapai 5,1-5,5 persen dengan titik tengah 5,3 persen sebagaimana tertuang dalam asumsi makro APBN 2020.
J.P. Morgan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 dan 2021 di angka 4,9 persen. Center of Reform on Economics (CORE) pun memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 4,9-5,1 persen.
Dalam laporan OECD, terdapat lima negara yang proyeksi pertumbuhannya direvisi ke angka yang lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya.
Beberapa negara yang proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020-nya ditingkatkan antara lain Australia, Inggris, Argentina, Afrika Selatan, dan Turki.
Lebih lanjut, terdapat empat negara yang diturunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya oleh OECD. Negara-negara yang dimaksud antara lain Jerman, India, Meksiko, dan Arab Saudi.
Penyokong Perekonomian
Menurut OECD, perekonomian Indonesia bakal disokong oleh peningkatan tenaga kerja, ekspansi bantuan sosial, dan penurunan suku bunga yang memacu pertumbuhan konsumsi domestik. Konsumsi rumah tangga sendiri diproyeksikan tumbuh 5,2 persen pada 2020.
Investasi juga diproyeksikan bakal kembali tumbuh pasca berakhirnya tahun politik, berlanjutnya proyek infrastruktur, serta kondisi finansial yang suportif. OECD memproyeksikan investasi akan tumbuh 5,2 persen pada 2020.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi China pada 2020 diproyeksikan akan menekan pertumbuhan ekspor.
Meski demikian, kinerja ekspor Indonesia bakal tetap didukung oleh tingginya permintaan dari mitra selain China. Ekspor sendiri diproyeksikan akan tumbuh 2,5 persen pada 2020.
Apabila ketidakpastian global terus berlanjut pada 2020, hal ini akan terus menekan kinerja ekspor akibat tertekannya harga komoditas ekspor.
Lebih lanjut, OECD juga memproyeksikan adanya risiko capital outflow dari negara berkembang seperti Indonesia yang dapat mendorong otoritas moneter untuk meningkatkan suku bunga acuan.
Hal ini pada akhirnya bakal menekan konsumsi domestik serta investasi.
Apabila ketidakpastian global mereda, investasi diproyeksikan tumbuh di atas ekspektasi dan pertumbuhan ekonomi pun akan meningkat seiring dengan banyaknya proyek infrastruktur.
"Wacana reformasi regulasi bakal membantu meningkatkan tingkat kepercayaan diri dari pelaku bisnis, investasi, dan serapa tenaga kerja formal," kata OECD dalam laporan yang dikutip Bisnis, Jumat (22/11/2019).
Dinamika Geopolitik
Menurut CORE, dinamika geopolitik dan perang dagang masih belum menunjukkan adanya tanda-tanda untuk mereda pada akhirnya menekan permintaan global dan akan terus menghambat kinerja ekpor Indonesia pada 2020. Pada tiga kuartal tahun 2019, ekspor Indonesia tercatat mengalami kontraksi hingga -8,1 persen (yoy).
Meski demikian, kinerja ekspor diproyeksikan akan membaik meski terbatas. Adapun faktor pendorongnya antara lain perang dagang antara AS dan China yang terus belanjut akan menekan kinerja keuangan korporasi di banyak negara sehingga mendorong korporasi tersebut untuk mencari sumber energi yang lebih murah seperti batu bara untuk menekan biaya produksi.
Kedua, tarif impor minyak kedelai dari AS oleh China akan mendorong permintaan produk substitusinya yakni CPO.
Untuk investasi, CORE juga memproyeksikan investasi akan tumbuh lebih tinggi pada 2020 dibandingkan dengan 2019 seiring dengan berlalunya Pemilu 2019.
Selain itu, pelonggaran kebijakan moneter serta insentif perpajakan yang diberikan pemerintah pada tahun depan diproyeksikan akan merangsang investasi.
Daya Ungkit Investasi
Meski demikian, CORE mencatat daya ungkit investasi pada 2020 diproyeksikan tidak akan terlalu signifikan karena masih banyaknya penghambat investasi seperti iklim investasi di sektor manufaktur yang kurang baik serta upaya deregulasi melalui Omnibus Law yang diperkirakan belum akan berdampak banyak pada 2020.
Meski ekspor dan investasi diproyeksikan membaik, konsumsi rumah tangga pada 2020 justru diproyeksikan akan tertahan atau bahkan tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan 2019.
Di satu sisi, pendapatan masyarakat diproyeksikan akan membaik karena adanya potensi kenaikan harga CPO, alokasi bansos dari pemerintah yang meningkat, kenaikan UMP, penyelenggaraan Pilkada 2020 di sembilan provinsi dan 261 kota/kabupaten, hingga pelonggaran moneter yang akan berdampak positif pada sektor riil.
Meski demikian, sejumlah kebijakan pemerintah justru ada yang menggerus daya beli seperti penghapusan subsidi listrik golongan 900 VA, pemangkasan subsidi solar dari Rp2.000 per liter menjadi Rp1.000 per liter, pemangkasan subsidi LPG 3 kg, kenaikan iuran BPJS, serta kenaikan cukai rokok.
Indikasi dari pelemahan konsumsi masyarakat pun sudah nampak dari indeks penjualan riil (IPR) yang di rilis oleh Bank Indonesia, pertumbuhannya per kuartal III/2019 hanya sebesar 1,4 persen.