Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan industri ritel modern sampai tahun depan diproyeksi kembali melempem lantaran masih harus menghadapi sejumlah hambatan, salah satunya adalah ancaman perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) yang tak kunjung usai.
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) periode 2015—2019 Tutum Rahanta mengatakan apabila perang dagang antara AS dan China masih terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan produk-produk China akan makin membanjiri Indonesia pada 2020.
Terlebih, saat ini produk-produk tersebut dapat dengan mudah dipasarkan melalui platform dagang-el atau e-commerce yang belum diatur sepenuhnya oleh pemerintah.
Adapun, untuk target pertumbuhan industri ritel modern pada 2020, menurut Tutum kemungkinan tak jauh berbeda dari pencapaian tahun ini yang kemungkinan hanya bertengger di kisaran 7%—9% atau meleset dari target awal sebesar 10%.
“Kami tinggal menunggu saja bagaimana hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Perdana Menteri China Xi Jinping. Jika tidak segera direalisasikan dan tidak menghasilkan kesepakatan baru siap-siap saja banjir barang impor dari China yang harganya jelas murah. Selain itu, perubahan perilaku konsumen ini masih menjadi persoalan juga di beberapa segmen ritel modern,” katanya belum lama ini.
Lebih lanjut, Tutum menjelaskan untuk menghadapi perubahan perilaku konsumen peritel modern sebenarnya sudah melakukan sejumlah strategi. Selain menggabungkan platform daring (online) dan (offiline) lewat omnichannel, sejumlah peritel modern mulai melakukan transformasi gerai mereka untuk menghadirkan pengalaman berbelanja yang berbeda, salah satunya dengan menambah fasilitas permainan dan kuliner.
“Contohnya Transmart yang mengubah format supermarket dengan tambahan wahanan permainan, itu agar orang terus berdatangan. Tetapi, tidak menutup kemungkinan juga bagi mereka untuk mengubah format jika transformasi belum menunjukkan dampak positif dalam hitungan waktu 1-2 tahun,” ungkapnya.
Kemudian Tutum menampik bahwa pertumbuhan seluruh segmen ritel modern yang ada di Tanah Air melempem.
Dia menyebut segmen toko kelontong atau minimarket masih moncer dan mencatatkan pertumbuhan sebesar 12% sepanjang Januari—September 2019 lantaran menjual produk kebutuhan sehari-hari dan dekat dengan masyarakat.
“Minimarket ini yang masih bagus, karena dekat dengan masyarakat dan tren saat ini masyarakat berbelanja tidak sekaligus dan menyimpannya dalam jumlah banyak. Mereka memilih untuk membeli sesuai dalam jumlah yang lebih sedikit dan dapat dengan mudah membelinya lagi di minimarket,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Aprindo periode 2019—2023 Roy Nicholas Mandey Roy tak menampik bahwa pertumbuhan industri ritel modern saat ini masih belum sesuai harapan. Akan tetapi, dirinya optimistis pertumbuhan tersebut akan terus berlanjut dan mencapai target yang ditetapkan sebelumnya.
Roy menyebut pertumbuhan industri ritel modern di Tanah Air yang saat ini berada di kisaran 7%—9% masih belum ideal. Menurutnya, pertumbuhan yang ideal bagi industri ritel modern adalah pertumbuhan yang mencapai 300%—400% dari pertumbuhan ekonomi nasional yang saat ini berada di angka 5,02%
Namun yang jelas, pertumbuhan industri ritel modern di Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan industri serupa di negara lain yang negatif alias minus.
Hal tersebut terlihat dari kontribusi industri ritel modern terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mencapai 10,41% dengan nilai Rp1.544 triliun dan tingkat pertumbuhan konsumsi selama 5 tahun terakhir berada di angka 5%—7%.
Consumer Behaviour Expert dan Executive Director Retail Service Nielsen Indonesia Yongky Susilo mengatakan pertumbuhan industri ritel modern sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional.
Adapun untuk saat ini, dia menyebut pertumbuhan industri tersebut masih belum menggembirakan lantaran adanya penurunan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah dan masyarakat kelas menengah ke atas yang masih mengerem konsumsinya.
“Kelas menengah atas bukan daya beli turun, tetapi [tidak ada] kemauan membeli. [Karena] confidence mereka turun akibat polemic pemilu yang tak kunjung usai, ketakutan dikejar-kejar pajak yang berlebihan, keberhasilan usaha atau demand di pasar Indonesia semakin turun, ditambah lagi gaung resesi global 2020,” katanya kepada Bisnis.com belum lama ini.
Adapun, sebagai langkah mengatasi hal tersebut, menurut Yongky pemerintah harus memberikan kepastian terkait dengan kemudahan berusaha di Tanah Air secepatnya untuk mendorong konsumsi dalam negeri dan bentuk proteksi terhadap ancaman resesi global. Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu memberikan perhatian lebih kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Karena UMKM Indonesia jauh dan terproteksi dari resesi global. [Kemudian] untuk kemudahan berusaha perlu ada terobosan perizinan. Izin harus sesedikit mungkin dan hilangkan yang tidak perlu. [Proses] perizinan harus cepat memakai key performance index (KPI), dan dibuatkan izin satu pintu saja,” paparnya.
Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan I Gusti Ketut Astawa berharap industri ritel modern bisa terus tumbuh didukung oleh relaksasi ketentuan mengenai wilayah yang selama ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.
“Draft revisi [Perpres No. 112/2017 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern] sudah di Sekretariat Negara (Setneg). Kami masih menunggu [dan] belum bisa memastikan kapan penyelesaiannya,” katanya kepada Bisnis, Jumat (15/11).
Ketut tak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai revisi tersebut. Namun yang jelas, sebelumnya diketahui bahwa pemerintah akan merelaksasi syarat pendirian ritel modern yang selama ini harus mengacu kepada aturan rencana detail tata ruang (RDTR) di tiap daerah, menjadi hanya berpatokan pada aturan rencana tata ruang wilayah (RTRW).
“Prinsipnya begini, [mengacu] pada RTDR atau zonasi [yang] menjadi kewenangan masing-masing pemerintah kabupaten atau kota,” ujarnya.
Ekspansi yang dilakukan oleh peritel modern di Tanah Air seringkali terganjal oleh oleh terbatasnya jumlah daerah yang memiliki ketentuan RDTR. Pasalnya, saat ini baru terdapat 41 kabupaten atau kota di sejumlah provinsi yang memiliki RDTR, sementara untuk RTRW, sudah ada 472 kabupaten atau kota di 34 provinsi yang telah memilikinya.