Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI : Listrik dan Ketidakadilan

Pembangunan infrastruktur ketenagalistikan yang tak merata keseluruh wilayah Nusantara dan kebijakan subsidi listrik berbasis orang merupakan biang keladi dari masalah ketakadilan sosial yang akut.
Suasana di Halte TransJakarta Harmoni saat pemadaman listrik di Jakarta, Minggu (4/8/2019)./Antara
Suasana di Halte TransJakarta Harmoni saat pemadaman listrik di Jakarta, Minggu (4/8/2019)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA — Listrik adalah salah satu berkah paling penting yang diberikan sains kepada umat manusia. Tanpa listrik seluruh operasi perkantoran bisnis tak bisa berjalan. Pada peringatan Hari Listrik Nasional yang jatuh pada 27 Oktober, saatnya kita melakukan konsolidasi.

Meski membawa banyak manfaat, listrik juga amat dekat kemudaratan dalam rupa ketidakadilan sosial. Pembangunan infrastruktur ketenagalistikan yang tak merata keseluruh wilayah Nusantara dan kebijakan subsidi listrik berbasis orang merupakan biang keladi dari masalah ketakadilan sosial yang akut.

Tak banyak disadari, ketersediaan energi listrik dalam jumlah besar di kota-kota besar dan sejumlah wilayah strategis, ternyata menyuburkan pratik ketidakadilan di sebagian kalangan warga masyarakat kita.

Jika ditelisik, ada beberapa bentuk praktik ketakadilan di bidang ketenagalistrikan. Pertama, pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan oleh negara yang mendahulukan kawasan barat daripada kawasan timur Indonesia yang berlangsung selama lebih dari enam dekade.

Memang dalam satu dekade terakhir, negara tampak makin gencar memperbaiki ketidakadilan di bidang ketenagalistrikan di kawan timur Indonesia. Bahkan dalam 5 tahun terakhir (Pemerintahan Jokowi periode I) negara mulai menaruh perhatian lebih ke kawasan timur Indonesia.

Namun, posisi Indonesia bagian timur tetap saja tertinggal. Statistik Ketenagalistrikan 2018 edisi No.32 Tahun Anggaran 2019, mengungkapkan banyak kemajuan.

Sampai dengan akhir 2018 kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik di Indonesia mencapai 64.924,80 MW yang terdiri dari pembangkit PLN sebesar 40.814,92 MW dan Non PLN sebesar 24.109,89 MW.

Dibandingkan dengan 2017,  maka kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik naik sebesar 2.721,87 MW atau 4,38 %. Panjang jaringan transmisi sampai dengan akhir  2018 sebesar 53.891,90 kms dan jaringan distribusi sebesar 953.560,46 kms. Rasio elektrifikasi (perbandingan rumah tangga berlistrik dengan jumlah rumah tangga) per akhir  2018 mencapai 98,30 %, naik 2,94%. Dari posisi 2017, 95,35 %.

Namun, kondisi ketenagalistikan di Indonesia timur masih terbelakang. Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa  per akhir 2018 terdapat sejumlah provinsi di Indonesia  yang rasio elektrifikasinya masih di bawah 90% sebagian besarnya di kawasan Indonesia bagian timur.

Rasio elektrifikasi di provinsi Sulawesi Utara misalnya 89,58%,  Nusa Tenggara Barat (NTB) 89,10%, Gorontalo 87,76%,  Kalimantan Barat 87,28%, Kalimantan Utara 84,30%, Kalimantan Tengah 84,27%, dan yang paling rendah  Nusa Tenggara Timur (NTT), 61,9%.  Sedangkan di daerah Indonesia barat, hanya satu provinsi dengan rasio elektrifikasi rendah (88,47%) yaitu Provinsi Kepulauan Riau.

Praktik ketidakadilan kedua adalah subsidi listrik yang tidak tepat sasar. Semenjak awal 2000-an pemerintah menggelontorkan dana subsidi listrik yang sangat besar berbasikan komoditas.

OPINI : Listrik dan Ketidakadilan

Namun hasil studi Tim Nasional Penanggulangan Percepatan Kemiskinan/TNP2K (2015) memperlihatkan bahwa hanya 26% subsidi listrik yang dinikmati oleh masyarakat kelompok miskin dan rentan miskin,  sedangkan sisanya, 74%, dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya (kelas menengah-atas), yang sebenarnya tidak patut menerima subsidi. Beban subsidi listrik yang ditanggung pemerintah untuk masyarakat miskin hanya Rp64.000 per bulan, sedangkan subsidi yang diterima oleh 10% masyarakat kaya bisa mencapai Rp168.000 per bulan.

Pratik ketidakadilan yang ketiga adalah pencurian daya listrik. Diketahui ada ada empat modus pencurian daya listrik.

Dampak Sosial 

Ketidakadilan di bidang ketenagalistrikan telah menimbulkan dampak negatif yang kompleks. Selain menimbulkan beban fiskal yang merongrong program pembangunan secara umum, subsidi listrik yang tak tepat sasar secara tak disadari telah menimbulkan persepsi keliru tentang konsep keadilan sosial di sejumlah kalangan masyarakat, terutama mahasiswa dan aktivis LSM.

Makanya, ketika ada kebijakan pemangkasan subsidi listrik, atas nama demokrasi mereka lantas  berteriak (berdemo) bahwa pemerintah  telah berlaku tidak adil terhadap rakyat kecil. Padahal, secara faktual (hasil studi TNP2K)  yang justru lebih banyak menikmati subsidi listrik adalah sekelompok kecil warga kelas menengah-atas.

Infrastruktur dan akses ke ketenagalistrikan yang tak merata berpotensi melanggengkan kemiskinan, kebodohan dan tingkat kesehatan yang rendah.

Menyitir pendapat peraih hadiah nobel bidang ekonomi 1998, Amartya Sen, Louis Pouliquen dalam papernya Infrastructur and Poverty ( 1/12/2000)  mengemukakan bahwa  akar masalah dari kemiskinan adalah hak dan kapasitas.

Dalam hal infrastruktur, hak diterjemahkan menjadi akses. Bagi orang miskin, yang menjadi masalah utama bukanlah  persentase tetapi lebih pada karena kurangnya akses ke infrastruktur itu. Apa gunanya infrastruktur ketenagalistrikan jika mereka tidak memiliki akses untuk mendapat listrik?

Dalam perspektif demikian, maka dapat dipahami bahwa sekalipun infrastruktur ketenagalistrikan sudah semakin memadai (sekitar 80%), sejumlah pronvisi di Indonesia  masih terpasung dengan angka kemiskina yang tinggi.  

Data Badan Pusat Statistik/BPS (15 Juli 2019) mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan di provinsi Papua misalnya mencapai 27,53%,  Papua Barat (22,17%), NTT (21,09%), Maluku (17,69%), Gorontalo (15,52%), Aceh (15,32%), Bengkulu (15,23%), dan NTB (14,56%).

Hidup tanpa akses ke listrik tak hanya membuat masyarakat tetap tenggelam dalam kemiskisnan, melainkan juga tetap terpasung kebodohan dan kualitas kesehatan yang rendah. Tanpa akses listrik, anak-anak desa di NTT, Papua dan Maluku, misalnya, nyaris tak pernah belajar di rumah, khususnya di waktu malam.

Apabila harus mengerjakan PR, mereka  harus siap bahwa lubang hidungnya dipenuhi gelaga hitam. Tanpa akses listrik, anak-anak desa  juga tak punya peluang untuk mendapat hiburan dari TV dan radio. Mereka juga tak bisa memperoleh informasi, dan ilmu pengetahuan terkini dari internet.

Boleh jadi benar bahwa pembangunan infrastruktur (termasuk bidang ketenagalistrikan) yang dilakukan secara masif dalam 5 tahun terakhir, mampu menekan angka kemiskinan. Namun, harus disadari pula bahwa ketiadaan akses ke infrastruktur (ketenagaanlistrikan) justru membuat kemiskinan menjadi sebuah masalah sosial yang semakin jelimet.

Makanya, sungguh masuk akal jika Chaterine Chambers (2010) memahami ‘kemiskinan’ sebagai sebuah suatu konsep/masalah sosial yang terintegrasi, meliputi aspek kelaparan, ketakberdayaan, kebodohan/ketergantungan, kerentanan menghadapi situasi darurat seperti sakit-penyakit, dan keterasingan (isolasi) baik secara geografis maupun sosiologis.

Penulis adalah penulis buku Mencari Keadilan Subsidi Listrik yang diterbitkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper