Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia harus meningkatkan daya saing dan kualitas produk ekspornya, pascakeputusan Amerika Serikat (AS) memberikan kembali fasilitas Generalized System of Preference (GSP) terhadap sejumlah produk RI.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan keputusan AS untuk memberikan fasilitas GSP kembali terhadap lima produk ekspor RI, menjadi angin segar bagi Indonesia. Menurutnya keputusan tersebut menjadi salah satu indikator bahwa Indonesia masih dipercaya AS sebagai mitra dagangnya.
“Namun kita tidak boleh berpuas diri dahulu. Kita harus tingkatkan daya saing produk kita supaya fasilitas GSP ini bisa kita maksimalkan untuk meningkatkan ekspor ke AS. Sebab, pesaing kita dari sesama negara penerima GSP sangat banyak ,” ujarnya ketika dihubungi oleh Bisnis.com, Selasa (29/10).
Adapun, berdasarkan informasi dari lama resmi United States Trade Representative (USTR) lima produk asal Indonesia berhasil mendapatkan kembali fasilitas GSP. Kelima produk itu adalah plywood bambu laminasi, plywood kayu tipis kurang dari 66 milimeter, bawang bombai kering, sirup gula, madu buatan, dan karamel serta barang rotan khusus untuk kerajinan tangan.
Dari enam produk ekspor RI yang ditinjau ulang kelayakannya untuk menerima GSP oleh USTR, hanya produk asam stearat yang tidak lagi mendapatkan tarif preferensi. Pasalnya nilai ekspor produk itu telah melebihi batas ketentuan kompetitif di AS.
Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan kebijakan AS untuk memberikan kembali fasilitas GSP kepada sejumlah produk kayu dan olahannya akan berdampak siginfikan terhadap ekspor RI.
“Kebijakan ini akan memberikan ruang dan kesempatan yang bagus bagi produk-produk olahan kayu dan rotan kita untuk memanfaatkan pasar AS. Terlebih, AS telah memberikan hambatan impor yang tinggi terhadap produk furnitur dari China yang selama ini menjadi pesaing kita,” ujarnya.
Dia juga menyebutkan dengan dilanjutkannya pemberian fasilitas GSP tersebut, produsen Indonesia harus meningkatkan kualitas produk yang diekspornya. Hal itu diperlukan agar permintaan terhadap produk olahan kayu Indonesia tetap diminati oleh konsumen AS.
Terpisah, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan diberikannya kembali fasilitas GSP kepada lima produk ekspor RI oleh AS tidak lepas dari aktifnya Indonesia melakukan submisi tertulis yang berisi penjelasan mengenai kebutuhan Indonesia mendapatkan fasilitas perdagangan itu .
“Selain itu, Pemerintah RI yang diwakili Atase Perdagangan juga hadir dalam dengar pendapat di Washington D.C. guna memberikan pembelaan bagi produk-produk Indonesia yang dinilai kelayakannya oleh AS untuk mendapatkan GSP,” jelasnya seperti dikutip dari siaran persnya, Selasa (29/10).
Agus mengatakan, USTR melalui Komisi Perdagangan Internasional AS (United States International Trade Commission/USITC) telah melakukan penilaian terhadap produk ekspor yang mendapatkan fasilitas GSP sejak April 2019. Proses penilaian serupa pun dilakukan terhadap negara-negara mitra AS lain seperti Pakistan, Thailand, Brasil, Ekuador dan Brasil.
Menurut Mendag Agus, produk asam stearat tidak lagi mendapatkan tarif preferensi lantaran produkitu dinilai sudah sangat berdaya saing dan memiliki pangsa pasar yang baik di pasar AS. Dengan demikian produk tersebut tidak perlu lagi mendapatkan perlakuan khusus.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Intenasional Iman Pambagyo menambahkan, pemerintah berharap fasilitas GSP ini bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh para eksportir Indonesia. Pasalnya, para pelaku usaha RI baru memanfaatkan sekitar 836 produk dari total 3.572 produk asal Indonesia yang diberikan fasilitas GSP oleh AS.
“Untuk itu pemerintah berharap semakin banyak pelaku usaha mengekspor produk-produk yang masuk dalam skema GSP,” ujarnya.
Adapun, pada 2018, ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat sebanyak US$2,13 miliar dari total ekspor Indonesia ke AS sebesar US$18,4 miliar. Sepanjang tahun lalu, produk ekspor utama Indonesia ke AS memanfaatkan skema GSP a.l. ban mobil (US$138 juta), kalung emas (US$126,6 juta), asam lemak (US$102,3 juta), tas tangan dari kulit (US$4,8 juta), dan aksesori perhiasan (US$69 juta).