Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemenkeu Tegaskan PMK Tambahan Defisit Anggaran Bersifat Antisipatif

Direktur Jenderal DJPPR Luky Alfirman menerangkan PMK tersebut perlu dikeluarkan karena pada akhir tahun nanti yakni selepas awal Desember 2019, pemerintah sudah tidak dapat lagi menerbitkan Surat Berharga Negara untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan.
Luky Alfirman, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan ./Bisnis-Ema Sukarelawanto
Luky Alfirman, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan ./Bisnis-Ema Sukarelawanto

Bisnis.com, JAKARTA–Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menjelaskan bahwa keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 144/2019 tentang Perkiraan Defisit dan Tambahan Pembiayaan Defisit APBN Tahun Anggaran 2019.

Direktur Jenderal DJPPR Luky Alfirman menerangkan PMK tersebut perlu dikeluarkan karena pada akhir tahun nanti yakni selepas awal Desember 2019, pemerintah sudah tidak dapat lagi menerbitkan Surat Berharga Negara untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan.

"Itu yang kita antisipasi, oleh karena itu ketika diproyeksikan ada peleberan defisit maka kita sudah bisa tarik pembiayaan sejak awal," ujar Luky Selasa (22/10/2019).

Meski demikian, Luky juga menerangkan bahwa hal ini tidak serta merta menandakan bahwa defisit dan kebutuhan pembiayaan akan membengkak.

Menurut Luky, penerimaan pajak memiliki kecenderungan untuk meningkatkan pada Desember dan bisa mencapai dua kali lipat dari penerimaan November.

Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan DJPPR Riko Amir menerangkan bahwa hingga saat ini pemerintah masih tetap berpegang pada angka defisit sebagaimana tertera dalam outlook APBN 2019 yakni sebesar 1,93% dari PDB atau sebesar Rp310,81 triliun.

Apabila ada pelebaran defisit dan penambahan kebutuhan pembiayaan utang, pemerintah akan segera mengumumkan hal tersebut pada bulan ini.

"Pokoknya kita tetap di 1,93% dari PDB, itu yang kita usahakan terus," ujar Riko, Selasa (22/10/2019).

Seperti diketahui sebelumnya, penarikan utang melalui SBN secara bruto sudah mencapai Rp759,22 triliun atau 90,19% dari target sebesar Rp841,78 triliun.

Secara neto, penarikan utang melalui SBN sudah mencapai Rp354,63 triliun atau 92,88% dari target yang mencapai Rp381,83 triliun.

Pemerintah sendiri sudah berencana untuk menarik pinjaman tunai luar negeri sebesar US$1 miliar hingga US$2 miliar yang rencananya akan ditarik pada kuartal IV/2019. Pinjaman tersebut berfungsi sebagai buffer untuk pembiayaan.

Pinjaman luar negeri dalam bentuk tunai diproyeksikan meningkat dari target sebesar Rp30 triliun menjadi Rp44,16 triliun atau 147,2% dari target.

Luky menerangkan bahwa potential lender dari pinjaman tunai sebesar US$1 miliar hingga US$2 miliar tersebut adalah dari Asian Development Bank (ADB), World Bank, Agence Française de Développement (AFD), serta KfW.

Namun, penarikan pinjaman tunai tersebut baru akan direalisasikan apabila memang benar-benar dibutuhkan.

Terkait dengan rencana adanya potensi bertambahnya defisit anggaran untuk tahun ini, ekonom Indef Abdul Manap Pulugan menilai bahwa hal ini timbul akibat penerimaan pajak yang hingga saat ini masih belum memuaskan.

Hal ini ditambah lagi dengan adanya terus tertekannya harga komoditas sehingga turut menekan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

"Saya pikir defisit APBN 2019 masih di bawah 2% dari PDB meski secara nominal terus melonjak," ujarnya, Selasa (22/10/2019).

Secara jangka pendek, penarikan pinjaman tunai menurut Abdul merupakan langkah yang cukup bijak. Meski demikian, hal ini berpotensi menjadi beban anggaran ke depan.

Hal ini juga mengingat tingginya porsi kepemilikan asing atas SBN sehingga menyebabkan volatilitas dari pembiayaan melalui SBN masih cenderung tinggi.

Oleh karena itu, pemerintah ke depan perlu lebih serius dalam meningkatkan penerimaan pajak agar pemerintah bisa semakin terbebas dari ketergantungan terhadap utang.

Mengingat ketergantungan Indonesia terhadap faktor global cukup rendah, Abdul menerangkan bahwa pemerintah tidak bisa menyalahkan faktor global terkait lesunya penerimaan pajak. "Lihat saja porsi ekspor di bawah 20% terhadap PDB," katanya.

Abdul mencatat defisit anggaran pada 2020 hampir setara belanja bunga utang.

Merujuk pada APBN 2020, defisit anggaran mencapai Rp307,22 triliun atau 1,76% dari PDB, sedangkan belanja bunga utang sendiri mencapai Rp295,21 triliun. Belanja bunga utang lebih tinggi dari yang tertera outlook 2019 yang mencapai Rp276,1 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhamad Wildan
Editor : Achmad Aris
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper