Bisnis.com, JAKARTA — Para pemangku kepentingan hulu migas nasional berharap ada perubahan signifikan pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode kedua.
Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman mengaku optimistis masa depan hulu migas nasional punya masa depan yang baik. Hanya saja, Fatar mengatakan masih perlu kerja keras dan koordinasi antarpemangku kebijakan.
"Lima tahun terakhir ada bisnis proses yang kadang pemangku kebijakan gak ambil keputusan. Kalau secara teori, gampang, tapi saat [cepat] ambil kebijakan khawatir ditangkap [KPK]," tuturnya dalam diskusi Menakar Prospek Sektor Hulu Migas Di Periode ke-2 Presiden Joko Widodo, Senin (21/10/2019).
Menurutnya, hal ini yang menyebabkan pemerintah maupun BUMN memerlukan waktu untuk mengambil keputusan. Dia mencontohkan, alih kelola Blok Rokan sejauh ini belum memiliki model bisnis yang disepakati dalam masa transisi.
"Bisnis model sudah oke, tapi kalau salah orang transisi dicopot, bahaya juga. Teman-teman di hukum perlu lihat ini lebih jernih," katanya.
Selain itu, Fatar juga mencontohkan proses pengesahan rencana pengembangan Blok Masela yang sudah melalui pembahasan berulang kali. Hanya saja, setelah rencana pengembangan (plan of development/POD) berlalu, pihaknya dipanggil KPK untuk menjelaskan proses POD Proyek LNG Lapangan Abadi ini.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Riset Indef Berly Martawardaya mengatakan dampak penurunan produksi akan memengaruhi stabilitas rupiah. Pasalnya, impor minyak yang dibeli dalam dolar Amerika Serikat.
"Pekerjaan Rumah besar ada di RUU Migas, lalu skema gross split pun hanya menjadi opsi karena dasar hukumnya nggak begitu kuat," ujarnya.
Selain itu, menjaga kehormatan kontrak diharapkan jadi prioritas. Berly pun mengkritisi gonta-ganti menteri dalam 5 tahun terakhir yang dianggap mengganggu stabilitas.