Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indeks Keterbukaan Ekonomi Indonesia Jauh di Bawah Singapura dan Malaysia

Kajian dari Legatum Institute yang rilis pada Oktober 2019 menunjukkan, indeks keterbukaan ekonomi Indonesia menempati peringkat ke-68 dari 157 negara. Peringkat tersebut masih jauh di bawah negara tetangga Singapura yang bertengger di peringkat 2, Malaysia (38), dan Thailand (66).

Bisnis.com, JAKARTA – Keterbukaan ekonomi di Indonesia masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah. Aspek-aspek vital seperti kemudahan berinvestasi, infrastruktur pendukung akses ke pasar, dan iklim berusaha merupakan hal yang perlu dibenahi pemerintah.

Kajian dari Legatum Institute yang rilis pada Oktober 2019 menunjukkan, indeks keterbukaan ekonomi Indonesia menempati peringkat ke-68 dari 157 negara. Peringkat tersebut masih jauh di bawah negara tetangga Singapura yang bertengger di peringkat 2, Malaysia (38), dan Thailand (66).

Adapun indeks tersebut menempatkan Indonesia di atas Filipina yang berada di posisi ke-79, Vietnam pada peringkat 97, Myanmar (120), Laos (124), dan Kamboja (131).

Director of Policy Legatum Institute Stephen Brien memaparkan, keterbukaan ekonomi Indonesia sebenarnya menunjukkan tren positif. Pada 2009, Indonesia masih berada pada peringkat ke -74. Ia juga memuji upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui sejumlah kebijakan.

Kendati demikian, Brien mengatakan masih ada beberapa aspek yang perlu dikaji dengan lebih komprehensif. Investasi dari luar negeri baru berjumlah 2% dari PDB Indonesia, atau kurang dari setengah rata-rata negara di dunia. Selain itu, pembatasan investasi asing di Indonesia merupakan salah satu yang paling ketat di dunia.

“Selain itu, keputusan Indonesia membatalkan sejumlah kerja sama bilateral dengan beberapa negara turut mempengaruhi keyakinan investor untuk menanamkan modal. Daftar negatif investasi [DNI] milik Indonesia juga melarang kepemilikan asing, meskipun hal ini sedang direvisi,” jelas Brien saat ditemui di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, pada Selasa (15/10/2019).

Akses ke pasar Indonesia juga merupakan salah satu bidang yang perlu diperhatikan. Meski menunjukkan tren perbaikan sejak 5 tahun terakhir, infrastruktur pendukung seperti akses komunikasi dan internet masih berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Brien menilai, upaya pemerintah mengatasi masalah ini dengan menggandeng pihak swasta masih belum maksimal. Pasalnya, pemerintah masih menekankan peran signifikan Badan Udaha Milik Negara (BUMN) dalam kerja sama tersebut.

“Kombinasi antara hal tersebut dan regulasi yang mengatur kerja sama yang masih memberatkan pihak swasta membuat akses masyarakat ke pasar masih belum optimal,” tambahnya.

Masalah lain yang membayangi Indonesia adalah iklim usaha secara nasional. Pada sejumlah sektor usaha, seperti e-commerce dan usaha rintisan, Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi yang cukup terbuka dan dinamis. Hal ini merupakan upaya pemerintah dalam menjawab perkembangan teknologi dan memanfaatkannya untuk meningkatkan perekonomian negara.

Hal serupa tidak terjadi pada sektor usaha lain, utamanya bidang yang didominasi atau dipenuni BUMN. Kepentingan negara yang dibawa melalui BUMN akan meningkatkan risiko finansial negara karena badan usaha tersebut mengumpulkan keuntungan dan mengeliminasi kompetitor pada bidang usaha tersebut. Akibatnya, terjadi kesenjangan pertumbuhan antara sejumlah sektor dan minimnya akses perusahaan yang hendak melakukan kegiatan usaha di bidang tersebut.

“Indonesia perlu mengurangi ketergantungannya terhadap BUMN dan memperbanyak kerja sama dengan pihak swasta. Kebijakan ini juga harus didukung dengan pemberian insentif yang menarik serta pengurangan regulasi-regulasi yang memberatkan,” jelas Brien.

Terkait dengan hal tersebut, Direktur Fasilitasi Promosi Daerah BKPM Indra Darmawan mengatakan pemerintah selalu berusaha untuk terus meningkatkan keterbukaan ekonomi di Indonesia, terutama pada bidang investasi. Hal ini sejalan dengan instruksi dari Presiden Joko Widodo yang menginginkan pemangkasan aturan-aturan yang memberatkan.

Regulasi tersebut utamanya terkait dengan perizinan, baik untuk usaha ataupun investasi. Indra mengatakan, kehadiran Online Single Submission (OSS) mempermudah investor yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia.

Ia melanjutkan, saat ini pihaknya rata-rata mengeluarkan sekitar 1.000 hingga 1.200 izin usaha per hari. Selain itu, melalui OSS, pengeluaran Nomor izin Berusaha (NIB) juga semakin cepat. Per hari, lanjutnya, NIB yang dikeluarkan dapat mencapai 1.400 buah.

“Kami menyadari masih banyak aspek-aspek yang masih perlu diperbaiki. Tetapi, untuk mencapai keterbukaan ekonomi yang maksimal saya rasa tidak mustahil,” kata Indra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper