Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku masih mendiskusikan sejumlah opsi untuk memenuhi kebutuhan metanol sebagai campuran fatty acid methyl esters (FAME) untuk produksi biodiesel berkadar 30% (B30) pada 2020.
Adapun selama ini kebutuhan metanol sebagian besar masih diimpor dari luar negeri. Kementerian ESDM pun sempat mempertimbangkan untuk mendorong kesiapan industri penunjang yang akan memproduksi metanol di dalam negeri.
Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Andrian Feby Misna mengatangan kebutuhan metanol yang masih didatangkan dari luar negeri menjadi salah satu tantangan dalam mengembangkan biodiesel di Indonesia.
"Masih didiskusikan," jawabnya singkat, Senin (7/10/2019).
Selain permasalahan pasokan metanol, ada sejumlah tantangan lain dalam perkembangan biodiesel, yakni perlunya stok jaminan keberlanjutan, kesiapan dari industri penunjang, insentif pendanaan yang masih bergantung pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-PKS), permasalahan infrastruktur, hingga kampanye negatif penggunaan biodiesel dari pihak luar.
Saat ini, harga biodiesel memang masih lebih mahal dibanding solar subsidi sehingga insentif masih diterapkan.
Sebelumnya, pemerintah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 untuk menutupi perbedaan harga tersebut. Sejak 2016, pemerintah menutupi selisih harga ini dengan dana dari BPDP-PKS.
Adapu, BPDP tersebut mengelola dana pungutan kelapa sawit dari industri untuk penghiliran. Produk sawit dikenakan pungutan ekspor untuk memberikan insentif kepada industri sawit sehingga terjadi permintaan tambahan untuk industri biodiesel domestik.