Bisnis.com, JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai penetapan persentase kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang dihitung berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional tidak bisa mengakomodasi kebutuhan riil buruh di seluruh Indonesia.
Ketua Bidang Komunikasi dan Media KSPI mengatakan terdapat sejumlah daerah yang inflasi dan pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
"Selain itu, daerah yang saat ini UMP-nya rendah [apabila] menggunakan perhitungan yang sama, misalnya rata 8% di seluruh indonesia akan semakin tertinggal dengan daerah lain. Padahal bisa jadi kebutuhan mereka sudah bertambah," katanya kepada Bisnis, Senin (30/09/2019)
Lanjut Kahar, penetapan persentase kenaikan UMP seharusnya menggunakan asumsi inflasi di tahun yang sama. Adapun, saat ini inflasi yang digunakan untuk menetapkan kenaikan UMP adalah inflasi pada tahun sebelumnya.
Sementara itu, terkait dengan persentase kenaikan UMP 2020 yang diminta oleh KSPI, Kahar menyebut bahwa pihaknya masih melakukan pembahasan mengenai hal tersebut. Namun, sebelumnya Presiden KSPI sempat menyebut bahwa pihaknya mengusulkan agar kenaikan UMP tahun depan bisa di atas 10%.
"Secara resmi KSPI belum menetapkan berapa angka kenaikan UMP yang akan diperjuangkan. Namun, [persentase] pastinya di atas 8%, bisa jadi juga di atas 10%," tegasnya.
Sebagai catatan, pada tahun lalu KSPI menuntut kenaikan UMP sampai dengan 25%.
Kahar menambahkan KSPI akan masih akan mendesak pemerintah untuk merevisi Peraturam Pemerintah (PP) No. 78/2015 tentang Pengupahan yang dinilai menghapus peran buruh dalam negosiasi dengan pengusaha soal penentuan upah. KSPI ingin agar penetapan persentase kenaikan UMP dikembalikan ke perundingan di Dewan Pengupahan dengan melibatkan pengusaha, pekerja, dan pemerintah.
"Jadi bagi kami tidak terlalu penting sebenarnya diajak bicara atau tidak [dalam penetapan persentase kenaikan UMP], toh beberapa tahun ini pemerintah selalu memaksakan diri," ungkapnya.
Menurut KSP implementasi PP No. 78/2015 tentang Pengupahan merupakan sebuah kemunduran di era reformasi. Pasalnya, penentuan UMP dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan pekerja sama seperti cara yang pernah diterapkan pada rezim pemerintahan Orde Baru.