Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menegaskan bahwa industri penerbangan di Indonesia sangat terbuka untuk masuknya maskapai asing untuk dapat beroperasi di Tanah Air demi menciptakan pasar yang lebih kompetitif.
Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Maria Kristi Endah menerangkan bahwa proses pengurusannya pun kini juga jauh lebih mudah dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya seiring sejumlah perbaikan yang telah dilakukan.
"Untuk asing silakan masuk, kami sangat terbuka. Kemarin itu kita dengar katanya Jetstar mau masuk, silahkan saja," ujarnya dalam diskusi panel bertema Polemics and Prospects of the Aviation Industry : Airfares, Competition and Efficiency, yang diadakan oleh harian Bisnis Indonesia, Rabu (25/9/2019).
Namun, Kristi menegaskan bahwa setiap pelaku bisnis yang ingin masuk pada industri penerbangan di Indonesia harus memenuhi sejumlah persyaratan yang selama ini berlaku, yakni seperti yang terdapat dalam Undang-undang (UU) No.1/2009 tentang Penerbangan.
Menurutnya, berdasarkan UU tentang penerbangan, pelaku bisnis yang ingin mendirikan usaha penerbangan di Indonesia harus memiliki lima unit pesawat sendiri dan lima unit pesawat sewa, untuk penerbangan berjadwal.
"Untuk proses perizinannya sekarang juga lebih mudah, sudah online. Kami sudah pakai Online Single Submission [OSS] di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)," ujarnya.
Baca Juga
Setelah berdiri dan memutuskan untuk memulai penerbangan, lanjutnya, pemerintah akan meminta bussines plan perusahaan tersebut untuk jangka waktu 5 tahun mendatang.
"Sekarang izin terbang tidak pakai hitungan rumit. Kalau dulu, sebelum 2015, harus pakai analisa rumit. Tapi sekarang mau terbang kemana saja, silahkan, yang penting safety dan security harus dipegang. Kalau ada slot silahkan saja. Kalau dulu kan ada namanya keseimbangan rute, sekarang tidak ada, sudah liberal," ujarnya.
Dia melanjutkan untuk tarif masih tetap diatur. Alasannya, di dalam undang-undang telah ditegaskan bahwa tarif batas atas (TBA) ditentukan oleh pemerintah.
"Pada 2015 itu sudah ada aturannya seberapa besar TBA, kemudian di 2016 ada lagi Tarif Batas Bawah [TBB] yang meskipun tidak disebutkan dalam undang-undang," ujarnya.
Dia pun menegaskan pemerintah tidak mungkin sembarangan menentukan TBA dan TBB, karena semuanya sudah dibahas oleh para stakeholder.
"Selama ini tidak pernah ada airline yang melanggar TBB, tapi justru dulu sebelum sekitar 2015-2017, dari tim pengawas menemukan banyak pelanggaran di TBB-nya. Makanya berlomba-lomba tarif murah," ujarnya.