Pemerintah, Tutup Celah Cukai Rokok Demi SKT!

Rencana penaikan cukai rokok sebesar 23% pada 2020 memunculkan berbagai persoalan bagi industri hasil tembakau (IHT) dalam negeri.

Bisnis.com, JAKARTA – Rencana penaikan cukai rokok sebesar 23% pada 2020 memunculkan berbagai persoalan bagi industri hasil tembakau (IHT) dalam negeri.

Pemerintah pun didorong untuk memperbaiki kebijakan cukai yang saat ini berlaku, khususnya untuk rokok buatan mesin.

Troy J. Modlin, Direktur PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. menyebut cukup kaget dengan keputusan penaikan cukai rokok sebesar 23% pada 2020.

Pasalnya, dengan target penerimaan cukai IHT sebesar Rp173 triliun pada tahun depan, sejumlah pelaku IHT sebelumnya telah memprediksi kenaikan tarif cukai rokok 2020 hanya di kisaran 13%.

“Kami cukup terkejut dengan penaikan cukai yang mencapai 23% pada tahun depan, tetapi sebagai perusahaan yang sudah beroperasi lebih dari 106 tahun di Indonesia, kami menghormati keputusan tersebut. Meski bukan keputusan terbaik, kami tetap menghormati dan menjalaninya,” katanya, Kamis (19/9).

Troy menuturkan, penaikan cukai pada tahun depan akan memberikan pengaruh signifikan terhadap IHT dalam negeri.

Untuk itu, pemerintah harus memikirkan cara demi menjaga keberlangsungan ekosistem IHT ke depannya.

Salah satu caranya adalah dengan memperbaiki kebijakan cukai di kategori rokok buatan mesin, khususnya sigaret putih mesin (SPM) yang didominasi oleh pemain rokok multinasional dengan jumlah produksi besar di seluruh dunia.

Dengan perbaikan kebijakan cukai di kategori tersebut, maka pemerintah dapat meningkatkan penerimaan negara dari cukai yang dibayarkan oleh pabrikan.

“Ada celah kebijakan dalam sistem cukai rokok buatan mesin. Jika diperbaiki, hal ini dapat meningkatkan penerimaan negara. Makanya, kami mengusulkan perusahaan yang memiliki produksi lebih dari 3 miliar batang per tahun di jenis SKM, SPM, atau gabungan dari keduanya, maka perusahaan tersebut dikenakan cukai tertinggi di jenis rokok SPM atau SKM yang diproduksinya,” ujarnya.

Berdasarkan data yang ada, memang ada beberapa perusahaan besar multinasional yang bermain di golongan 2 yang diperuntukkan bagi perusahaan kecil menengah di IHT dalam negeri.

Setidaknya ada 3 perusahaan besar multinasional yang membayar cukai rendah golongan 2 di kategori SPM.

Selain itu, ada juga 2 perusahaan besar multinasional yang membayar cukai rendah di golongan 2 dan 3 untuk kategori SKT, dan bersaing langsung dengan sekitar 500 pabrikan lokal kecil. 

Troy menilai perbaikan kebijakan cukai dengan menggabungkan jumlah produksi SKM dan SPM di satu perusahaan juga akan menciptakan persaingan yang adil.

Selama ini Sampoerna harus bersaing dengan perusahaan multinasional yang membayar cukai yang jauh lebih rendah, meski produk yang ditawarkan memiliki karakteristik yang sama.

Menurutnya, perbaikan kebijakan cukai yang diusulkan hanya akan mempengaruhi perusahaan multinasional yang memproduksi SPM di dalam negeri.

Hal yang lebih penting, lanjutnya, perbaikan ini juga akan menjauhkan tarif cukai rokok mesin dengan SKT. 

LINDUNGI SKT

Selain itu, Troy juga merekomendasikan agar pemerintah tidak mengotak-atik struktur cukai untuk kategori sigaret kretek tangan (SKT).

Alasannya, SKT memiliki karakteristik padat karya dan rentan terhadap perubahan harga.

“75% pekerja di kategori SKT berasal dari pabrikan pembayar cukai golongan 1. Jika ada perubahan dalam struktur cukai SKT, sudah pasti akan mempengaruhi volume produksi dan jumlah pekerja di dalamnya,” ujarnya.

SKT, lanjut Troy, mengalami penurunan yang terus-menerus dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu membuat Sampoerna harus terus mengatur strategi dengan jeli, agar dapat mempertahankan segmen SKT-nya.

Saat ini, Sampoerna mempekerjakan 67.000 orang secara langsung dan tak langsung, di mana sebagian besarnya adalah pelinting SKT.

Sampoerna, misalnya, melakukan subsidi dari profit yang didapat dari produk SPM untuk diberikan kepada SKT.

Dengan cara itu, produsen SKT terbesar di Indonesia tersebut dapat menjaga keberlanjutan industri yang memproduksi Dji Sam Soe, dan Sampoerna Hijau.

Ia juga mengatakan, jika pemerintah benar-benar memperhatikan serapan tenaga kerja di SKT, maka volume produksi SKT golongan 2 sebaiknya diturunkan dari 2 miliar batang per tahun menjadi 1 miliar batang per tahun.

Dengan demikian, para produsen SKT golongan 1 dapat mempertahankan serapan tenaga kerjanya. Langkah ini juga dapat menciptakan persaingan yang adil bagi pabrikan SKT golongan 2 dan 3, serta meningkatkan penerimaan negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : MediaDigital
Editor : MediaDigital

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper