Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pemerintah melanjutkan pembukaan keran investasi bagi pengembangan industri gula terintegrasi dinilai bisa menggenjot produksi dalam negeri apabila berjalan sesuai rencana.
Oleh karena itu, pengawasan dalam pengembangan proyek-proyek ini tetap perlu menjadi perhatian para pemangku kebijakan.
"Sebagai contoh, 10 pabrik gula baru apa betul sudah beroperasi semua? Apa bukan commissioning [pengujian] saja?" tutur Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat kepada Bisnis, Senin (16/9/2019).
Budi pun mempertanyakan kebutuhan bahan baku pabrik-pabrik baru ini. Sebagaimana diketahui, belum semua kebun inti milik pabrik sudah menghasilkan tebu siap giling karena sebagian masih memanfaatkan kebun-kebun plasma yang dikelola oleh petani rakyat.
Pemerintah sejatinya memberi insentif khusus bagi perusahaan yang melakukan investasi di sektor industri gula. Dalam Pasal 7 Peraturan Kementerian Perindustrian Nomor 10/2017, perusahaan industri gula baru diwajibkan memanfaatkan bahan baku tebu untuk memenuhi paling sedikit 20 persen kapasitas giling.
Perusahaan-perusahaan ini juga diperkenankan memanfaatkan gula kristal mentah (raw sugar) impor untuk memenuhi 90 persen kapasitas produksi. Pemanfaatan bahan baku tebu secara bertahap ditambah pada tahun kedua sampai ketujuh diiringi pengurangan pemanfaatan raw sugar impor.
Budi mempertanyakan pula pihak mana yang akan memantau operasional pabrik-pabrik baru ini sampai memproduksi gula kristal putih. Ia menilai perlu ada audit terhadap lahan atas tanaman tebu untuk mengetahui apakah bahan baku tebu benar-benar tersedia.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Soemitro Samadikun menilai kehadiran pabrik-pabrik baru ini seharusnya didahului dengan kesiapan lahan tebu, bukan sebaliknya. Menurutnya, pabrik baru idealnya beroperasi setidaknya dua tahun sejak lahan penanaman tebu dikembangkan sampai bisa menjadi tebu siap dipanen.
"Kalau memang ada lahan, kalau bisa lahan inti itu saja. Kapasitas pabrik itu berapa, dan lahan inti itu disiapkan sebelum pabriknya berdiri. Ini sekaligus untuk pembibitan," ujar Soemitro.
Ia menjelaskan jika lahan inti pabrik mencapai 15.000 hektare (ha), setidaknya telah dilakukan pengembangan bibit 6 bulan sebelumnya di lahan seluas 3.000 ha. Pengembangan itu didahului pula dengan pengembangan bibit di lahan seluas 600 ha dan 120 ha masing-masing 6 bulan sebelumnya.
"Saya pikir tahapan-tahapan ini harus dilalui. Tidak mungkin ada pihak yang menyediakan bibit secara langsung untuk luas puluhan hektar," tuturnya.