Bisnis.com, JAKARTA — Target ekspor nonmigas senilai US$175,8 miliar tahun ini diperkirakan meleset akibat tekanan pelemahan ekonomi global maupun rendahnya daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor nonmigas sepanjang Januari—Agustus 2019 baru mencapai US$101,48 miliar, turun 6,66% dari periode yang sama tahun lalu. Padahal, ekspor nonmigas tahun ini ditarget tumbuh 8% dari realisasi sepanjang 2018 senilai US$162,65 miliar.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengatakan untuk dapat mencapai target ekspor nonmigas senilai US$175,8 miliar hingga akhir tahun ini, dibutuhkan perolehan ekspor nonmigas minimal US$15 miliar per bulan selama September—Desember 2019.
"Ini sulit, terlebih tinggal 4 bulan lagi [sisa tahun berjalan] termasuk September. Berarti ekspor per bulan harus US$15 miliar," ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (16/9/2019) malam.
Menurutnya, penurunan ekspor nonmigas secara kumulatif pada tahun ini dipicu oleh persaingan yang makin sengit di pasar global. Produk Indonesia dinilai kalah saing dari produk buatan Vietnam, Bangladesh, Kamboja, dan lainnya.
"Persaingan keras dan ekonomi dunia serta Indonesia tertekan jadi tahun ini ekspor nonmigas Indonesia menyusut dibandingkan dengan periode Januari—Agustus lalu," kata Benny.
Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono juga berpendapat target ekspor nonmigas Indonesia pada tahun ini akan sulit tercapai.
Saat ini, pengusaha bertumpu pada pergelaran Trade Expo Indonesia (TEI) pada Oktober untuk mengail peluang menggaet mitra ekspor baru dan mengoptimalkan penjualan ke luar negeri sepanjang kuartal IV/2019.
"Bisa dikebut dengan cara bikin business meeting dengan berbagai negara. Kami dari Komite Pengembangan Ekspor Kadin Indonesia siap bergandengan tangan dengan pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan yakni Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional untuk mengoptimalkan peluang ekspor yang masih sangat terbuka lebar," tuturnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Khamdani pun pesimistis akan tercapainya target ekspor nonmigas senilai US$175,8 miliar tahun ini.
"Saya rasa sangat sulit untuk menggenjot ekspor untuk naik ke level 8% di atas ekspor tahun lalu per akhir tahun ini. Total ekspor nonmigas pada akhir 2018 mencapai US$162 miliar. Ini bisa tercapai karena selama setengah tahun lalu, ekspor tidak dipengaruhi perang dagang," ucapnya.
Menurutnya, penetapan target pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 8% tahun ini diawali oleh optimisme bahwa Indonesia bisa mengisi peluang substitusi produk ekspor China ke Amerika Serikat di tengah kondisi perang dagang.
"Kami juga sampaikan bahwa hal itu hanya bisa kami lakukan dengan baik bila pemerintah mendukung kami dengan reformasi ekonomi agar biaya produksi nasional menjadi lebih efisien untuk ekspor dan investasi lebih terbuka lebar untuk mendukung perluasan ekspor," katanya.
Namun, sebutnya, hal itu tak dilakukan dengan baik sehingga tidak ada perubahan yang berarti dalam iklim penunjang akselerasi ekspor nasional selain penyelesaian berbagai perundingan perdagangan.
"Jadi jangan terlalu heran kalau targetnya tidak tercapai," ujarnya.
Shinta juga berpendapat dalam satu tahun terakhir Indonesia tidak banyak melakukan perubahan kebijakan secara signifikan yang dapat mendukung dan mempercepat produktivitas dan efisiensi produksi nasional untuk meningkatkan ekspor maupun investasi.
"Malah karena pemilu sempat berhenti melakukan reformasi kebijakan ekonomi nasional yang urgent dibutuhkan oleh pelaku usaha nasional untuk ekspor," ucapnya.
Shinta mencontohkan untuk simplifikasi dan efisiensi penyederhanaan izin, prosedur dan dokumen ekspor masih relatif tidak berubah dari tahun lalu. UMKM yang mau mengekspor masih sulit mendapatkan pengenal eksportir.
Lalu, pelaku usaha juga masih dibebani laporan surveyor walaupun produk yang diekspor sudah disertifikasi di level nasional maupun internasional.
Sementara itu, ekonom Core Indonesia Mohammad Faisal berpendapat target pertumbuhan ekspor sebesar 8% tahun ini hampir pasti tidak akan dapat tercapai. "Bahkan, alih-alih meningkat, tahun ini ekspor saya perkirakan pertumbuhannya akan kontraktif," ucapnya.
Hal ini sejalan dengan perlambatan ekonomi global dan perang dagang yang memperlemah permintaan negara-negara tujuan ekspor, ditambah lagi dengan lemahnya daya saing produk ekspor manufaktur Indonesia, melemahnya harga komoditas ekspor andalan dan meningkatnya proteksi yang dilakukan negara mitra dagang.
Dia mengusulkan strategi jangka pendek yang perlu dilakukan yakni dengan memperkuat diplomasi perdagangan untuk meminimalisasi efek perlambatan ekspor karena strategi proteksi negara-negara tujuan eskpor, seperti isu lingkungan terkait sawit yang berakibat pada pelarangan impor kelapa sawit dan turunannya oleh Eropa, tuduhan dumping dan subsidi ekspor, dan lain sebagainya.
Selain itu, pemerintah perlu mempercepat diversifikasi ekspor ke negara-negara nontradisional mengingat pasar tradisional yang utama seperti China, India, Eropa mengalami penurunan permintaan yang sangat signifikan
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menuturkan kinerja eskpor nonmigas Indonesia tidak terlalu baik sehingga target yang ditetapkan akan sulit tercapai.
"Industri Indonesia kurang begitu baik, kontribusi pada produk domestik bruto (PDB) turun terus kalau bicara ekspor surplus produksi sehingga menyebabkan kegagalan ekspor," katanya.
Dia mengungkapkann kondisi ekonomi global yang tengah melemah turut berdampak pada ekspor Indonesia.
"Secara umum kalau dilihat global value chain dan global production network Indonesia rangkingnya tertinggal di bawah Thailand, Malaysia, Vietnam dan Filipina," ucapnya.
Dengan demikian, menurutnya, salah satu yang dapat dilakukan dalam jangka pendek yakni dengan deregulasi dan deinvestasi aturan karena selama ini menghambat peluang ekspor dan investasi.
"Deregulasi dan deinvestasi ini harus konsisten. Hal ini memang harus direncanakan dengan baik tetapi tidak bisa berdampak signifikan pada tercapai target ekspor Indonesia tahun ini, tetapi di tahun mendatang," tuturnya.
Dia menambahkan pemerintah harus mengatasi persoalan miss match antara industri dan sumber daya manusia. Pasalnya, persoalan miss match ini membuat banyak investasi masuk malah ke negara seperti Vietnam dan sebagainya.
"Untuk permintaan menurut saya enggak masalah yang masalah yakni suplai untuk Indonesia bisa melakukan ekspor sehingga perlu dilakukan pembenahan dan deinvestasi," kata Faisal.